Jadi Dosen? Mau?

“Assalamu’alaikum mba Yui. Ur writing by the title “berkarya meski tak berNIDN is great. help and guide me for being a lecturer donk mba hehe… I do wanna be a lecturer. I really need ur tips & tricks for being it. Mengingat sdh cukup banyak peraturan mengenai dosen dewasa ini :)”

Salah satu inbox di Instagram hari ini, hari Maulid Nabi, hari yang mengawali sebuah bulan paling terakhir di tahun 2017 ini. Sebenarnya bukan pertama kalinya pertanyaan sejenis di atas ditanyakan ke saya. Agar lebih efektif, maka saya membuat artikel ini, agar bisa diambil manfaatnya secara meluas (kalau ada).

Belum banyak pengalaman, karier saya sebagai dosen masih dibilang baru seumur jagung. Jadi tidak ada maksud untuk menggurui siapapun dalam artikel ini, saya hanya akan mengungkapkan pengalaman yang saya rasakan berikut point of view dari saya pribadi. Begitu ya πŸ™‚ Setiap masukan is very welcoming. Poin-poin berikut akan menjawab atau menjelaskan sedikit banyak pertanyaan di atas, atau pertanyaan sejenis yang pernah hinggap di inbox saya. Oke kita mulai ya πŸ™‚

1.Minimal S2.

Ini syarat minimal yang harus dipenuhi dosen jaman now, memiliki kualifikasi pendidikan minimal S2, tidak bisa tidak. Atau masih ada kampus yang menerima tawaran dosen dengan kualifikasi S1 selain vokasi atau diploma? Jadi kalau belum mengantongi ijazah S2 sebaiknya diperjuangkan. Lebih baik S2 dalam negeri atau luar negeri? Sama saja, masalah preferensi saja. Keduanya ada plus minusnya. Di manapun berada yang penting adalah ilmu yang kita dapatkan bisa bermanfaat dan berkah, sehingga baik kita yang menuntut ilmu maupun lingkungan di sekitar kita bisa merasakan manfaatnya. Bukankah demikian? πŸ˜‰

2. Passion

Ini penting banget, yakin mau jadi dosen? Yakin passion kamu di sana? Pastikan dengan baik. Saya masih ingat pesan seorang senior bahwa jadi dosen harus senang terus (agak repot juga kalau pas mood naik turun :D). Kebayang kan kalau kita sendiri diajar oleh dosen yang ngajarnya gak seneng dan gak semangat, kita juga ikutan kendor. Nah, posisikan kita sebagai mahasiswa atau pas jadi mahasiswa saja deh ya. Bukankah sebaiknya kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan?

Saya masih teringat materi saat pelatihan PEKERTI bahwa kita jadi dosen bukan hanya 5 tahun atau 10 tahun, kemungkinan sampai umur 70 tahun (guru besar) dan kalaupun sudah lebih dari itu (masa pensiun) masih bisa diperbantukan lagi. Jadi profesi dosen ini bisa dibilang profesi lifetime. Karena profesi lifetime tersebut, kalau bosen dan tak punya passion, mending dipikir lagi. Jadi semenjak pelatihan tersebut, saya belajar sedikit demi sedikit mengurangi keluhan-keluhan.

Saya tidak bisa memungkiri bahwa capek itu pasti ada. Dulu kayaknya ada yang bilang jadi dosen itu santai, siapa ya? πŸ˜€ Sebelum jadi dosen harus banget paham kewajiban utama dosen yaitu penelitian, pengajaran, dan pengabdian. Terlepas dari tiga hal tersebut juga ada lho, macem-macem. Tinggal masalah bagi waktu dan membelajarkan diri untuk bilang TIDAK kalau memang tidak sanggup terhadap amanah yang diberikan. Wajib banget untuk mengosongkan satu-dua hari dalam seminggu untuk benar-benar switch off to work, agar tetap fresh untuk menghadapi mahasiswa ketika mengajar. Bukankah keikhlasan kita dalam menyebarkan ilmu akan menjadi pahala untuk kita nanti? Setiap peluh adalah saksi perjuangan kita dalam menggapai ridloNya.

3. Terus Belajar

Ini yang saya suka dengan profesi sebagai dosen. Jika cepat puas akan membuat diri ini kurang berkembang. Kita dituntut untuk terus belajar, bahkan gaya dan metode mengajar kita perlu diupdate. Tidak hanya soal keilmuan teknis yang dipelajari untuk update bahan mengajar, tapi hal komunikasi dengan mahasiswa juga bahan yang menarik untuk dipelajari. Saya pribadi, masih terus belajar untuk mencoba mempelajari mahasiswa-mahasiswa yang saya hadapi. Sepertinya agak berbeda menerapkan cara mengajar generasi milenial dengan generasi Z. Saat pelatihan Pekerti pikiran saya juga terbuka. Kita tidak bisa memaksa mahasiswa menerima gaya mengajar kita yang mungkin old style, juga memaksa mereka selalu paham dengan apa yang kita ajarkan dengan model ngajar yang gitu-gitu saja. Jadi kita harus belajar memahami mereka, agar pemahaman kita bisa diterima, bahkan salah satu pemateri memberikan saran dosen harus membaca buku tentang Generasi Z agar tahu bagaimana sebenarnya model anak Gen Z itu, agar bisa mengatasinya dengan baik. Mereka hanya butuh terus diarahkan dan dibimbing. InsyAllah jadi manusia yang berkualitas jika kita mampu berperan di dalamnya. Bukankah itu hal mulia? meskipun kita tidak ada ikatan darah dengan mahasiswa-mahasiswa kita, tapi ikatan guru dan murid itu sampai kapan pun. Ikatan antara manusia yang memiliki ilmu dan membutuhkan ilmu adalah jariyah.

4. Kemampuan Menulis dan Publikasi

Ini merupakan bagian dari nafas saat menjadi dosen. Karena dituntut untuk melakukan penelitian, maka kemampuan menulis ilmiah dan publikasi ilmiah adalah poin utama. Bahkan untuk kenaikan pangkat yang diperhatikan adalah berapa banyak nulis jurnal? berapa banyak nulis buku? Saat diklatsar dulu ada pemateri yang memberi tahu, kalau diurutkan secara prioritas antara mengajar, meneliti atau mengabdi, meneliti ada di urutan awal. Perbedaan dosen dan guru di stage penelitian ini. Biasanya kalau memiliki pengalaman menulis atau banyak publikasi akan menjadi poin lebih untuk menjadi dosen. Merasa belum terdorong untuk menulis atau publikasi? Bisa diawali dari membaca jurnal atau paper-paper terkait.

5. Kemampuan public speaking.

Yang pemalu pun ketika menjadi dosen diharuskan untuk tetap berbicara. Ini tak mudah, butuh jam terbang dan latihan terus menerus, serta pembelajaran melalui kekurangan dan peningkatan kualitas berbicara atau presentasi di depan publik. Saat mahasiswa kita pasti merasakan saat presentasi di depan kelas seperti agak kacau, padahal mungkin sebelumnya sudah disiapkan dengan baik. Nah, itu bisa disiasati kalau kita selalu latihan. Nervous itu pasti! Bahkan ada presenter TED dalam buku “TED Talks, The Official TED Guide To Public Speaking” mengatakan bahwa 3 bulan sebelum presentasi itu pun nervous. Biasanya kalau sudah menguasai panggung dalam 5 menit kemudian mengalir saja. Kadang kalau diundang sebagai pemateri saya akan selalu bertanya, berapa pesertanya? siapa pesertanya? Di mana ruangannya? konsep acaranya seperti apa? Ya itu semua untuk bahan apa yang harus saya persiapkan dan yang harus saya bicarakan. Saya dulu pernah saat international conference, presentasi 15 menit, opening saya habiskan 10 menit, belum sampai selesai presentasi sudah dicut oleh session chair. Saya tahu presentasi model seperti itu tidak bagus. Saya terus belajar agar bagaimana caranya 15 menit itu tersampaikan idenya, bagaimana waktu 2 atau 3 SKS itu terserap dengan baik. Bukunya TED belum saya selesaikan, tapi setidaknya itu referensi yang bagus. Selain dari TED, saya juga belajar public dari dosen-dosen saya yang menurut saya punya kapabilitas lebih di dalamnya.

6. Sigap Mengatasi keterbatasan

Keterbatasan biasanya mendobrak seseorang untuk termotivasi lebih melakukan dan menyelesaikan masalah. Contoh keterbatasan, misalnya, hari ini harus mengajar tapi listrik mati, laptop tidak ada baterai, lantas bagaimana? Kuliah dilanjutkan atau ditunda? Kalau ditunda berarti harus mengganti di jam lain, belum tentu ketemu jadwal yang cocok, juga belum tentu dapat ruangan yang kosong, harus bagaimana? Kondisi-kondisi semacam itu harus bisa diatasi dosen, apapun caranya. Contoh lain, mau penelitian tapi tak ada NIDN, harus bagaimana? Ya, penelitian mandiri. Bagaimana dengan biayanya? Ya nyari. bagaimana nyarinya? Coba jawab deh πŸ˜€ Allah hanya menyuruh hambanya untuk terus bergerak, bergerak dan bergerak. Rasulullah bersabda “β€œOrang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing (dari keduanya) memiliki kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan kepada Allah, serta janganlah (bersikap) lemah…” Cukuplah kita meneladani apa yang dilakukan Rasulullah.

7. PNS atau Non PNS?

Ini masalah preferensi ya. Seperti saat proses seleksi CPNS banyak yang menanyakan apakah ikut atau tidak? Hehe, untuk saat ini belum, mungkin nanti?. Dari yang saya dapatkan saat Diklatsar, dosen tetap PNS atau non PNS mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Gaji pokok sama, tunjangan sama, insentif sama, uang makan sama, hak jabatan fungsional sama, sertifikasi dosen sama, untuk pensiunan atau tunjangan hari tua bagaimana? Informasi terbaru yang saya dapatkan saat diklatsar bulan Agustus 2017 kemarin, dosen tetap non PNS tetap mendapatkan tunjangan hari tua. Kalau yang ingin jabatan struktural, tinggal diusahakan PNS, karena lebih diutamakan. Oke ya, sekali lagi itu masalah pilihan, saya tak perlu menjelaskan lebih lanjut, karena pilihan setiap orang tidak bisa dipaksakan, kan? Hehe.

Kurang lebih begitu yang dapat saya sampaikan pada artikel saya kali ini. Tujuh poin tersebut yang biasanya sering dipertanyakan atau diperbincangkan saat awal-awal mau menjadi dosen. Overall, jadi dosen itu menyenangkan, saya suka, saya menikmati, ini passion saya. πŸ˜€ Alhamdulillah. Sudah siap jadi dosen? πŸ™‚

Sampai jumpa di artikel selanjutnya ya. Welcome December!

@Kontrakan, seharian mendung, dingin, Maulid Nabi, Jumat berkah <3

Pinterest

13 thoughts on “Jadi Dosen? Mau?

  1. Salam kenal sebelumnya mbak yuita.
    Semoga sukses selalu dalam karirnya mbak.
    Dan mohon maaf juga bila saya mungkin “mengisi kolom komentar” di waktu yang kurang tepat juga.

    Saya sangat tertarik dengan tips dari mbak yuita perihal sukses berkarir di dunia akademis.
    Sebagai informasi, bidang yang saat ini saya tekuni ialah IT Governance, yang sebenarnya saya mulai tekuni justru pada saat dunia kerja pertama di dunia swasta (telco), kemudian saya kembangkan lagi di studi S2, dan mudah2an dalam waktu tidak lama lagi, saya akan mengambil studi S3 pada bidang ini jg.

    Memang tujuan akhir dalam saya berkarir ialah di dunia akademis dan awalnya sebagai “masa transisi”, saya kembali berkarir di dunia swasta (dengan sektor berbeda dari sebelumnya) dan lagipula mumpung umur saya belum genap 35 tahun sebagamana syarat umur maksimal jadi dosen pada umumnya.
    Tapi sayangnya kali ini, saya tidak beruntung menghadapi kejamnya politik kantor di dunia swasta tempat saya kali ini.
    Sebenarnya keluarga saya dan kawan2 saya yg telah terlebih dahulu menjadi dosen, sangat menyayangkan pilihan saya untuk kembali ke swasta ketimbang langsung menjadi akademisi, terlebih saya pernah memiliki pengalaman publikasi internasional dan dalam rencana waktu dekat akan mengambil studi S3 (saat ini di waktu senggang, saya mempelajari paper2 calon promotor saya kelak, sebagai bahan komunikasi dengan calon promotor saya nantinya).

    Sebenarnya waktu itu, saya kembali ke dunia swasta bukan tanpa alasan.
    Selain mematangkan kompetensi saya di bidang ini, jujur saya juga masih ragu dengan budaya di lingkungan akademisi (termasuk budaya kerja dan pergaulannya), walaupun saya sangat mencintai dunia akademisi.
    Karena bagi saya, aspek budaya mencerminkan kesuksesan dalam berkarir, bukan hanya soal gaji + tunjangan.

    Kalau boleh saya bertanya sama mbak yuita, bagaimana budaya kerja dan pergaulan di dunia akademisi yang selama ini mbak hadapi pada umumnya dan pada khususnya, di lingkungan kerjanya mbak?

    Mohon maaf bila saya bertanya tentang hal ini.
    Bagaimanapun pandangan/opini dari mbak yuita perihal ini ialah salah satu referensi/masukan bagi saya, selain dari keluarga saya dan kawan2 saya yang kebetulan memiliki latar belakang sebagai akademisi.

    Terima kasih dan salam

    • Salam kenal mas Denis. Sebelumnya terima kasih telah berkunjung ke blog saya. Yang dimaksudkan dengan “ragu dengan budaya di lingkungan akademisi” ini bagaimana ya mas?
      Pergaulannya saya rasa kurang lebih sama saja dengan saya kuliah dahulu. Dimanapun kita berada tetap ada enak dan tidak enaknya, tergantung bagaimana kita menempatkan diri. Kalau budaya, saya rasa kalau mau murni membahas masalah keilmuan, budanyanya bagus. Namun, juga ada politiknya mas. Di berbagai lingkungan akademisi juga tetap ada politik kampusnya. Saya rasa politik itu dimana-mana. Namun, lagi-lagi filternya balik ke diri kita sendiri. Untuk menjawab keraguan mas Deni, mungkin silakan mulai mencoba masuk menjadi dosen LB di sebuah kampus. Agar hipotesis dari mas Deni terjawab, karena apa yang saya lakukan belum tentu cocok jika dilakukan oleh orang lain πŸ˜€ Kurang lebih begitu ya mas. πŸ™‚

  2. Salam kenal Kak Yuita, nama saya Cindy. Saya baru saja lulus S1 tahun ini dan sangat ingin menjadi Dosen tapi tidak tahu caranya. Apa begitu lulus S2 bisa langsung menjadi dosen dan mengajar?
    Saya bingung ingin bertanya pada siapa. Orangtua saya tidak ada kenalan dosen dan saya menempuh pendidikan S1 di luar negeri yang tentunya akan berbeda jika saya bertanya pada professor saya.

    Saya mengambil jurusan managemen dan sesegera mungkin ingin melanjutkan ke S2 untuk mengejar mimpi saya.

    Terima Kasih : πŸ™‚

    • Halo Cindy salam kenal. Tergantung institusi yang dituju. Secara umum syarat menjadi dosen adalah S2, jadi by default bisa. Bahkan beberapa waktu terakhir ini, pada beberapa kampus tertentu menargetkan syarat internal minimal S3 malah. Kalau saya dulu belum wisuda (namun sudah ujian sidang tesis) sudah mengajar menjadi dosen LB di salah satu kampus swasta.

      Orang tua saya juga sama sekali tidak punya kenalan siapa-siapa. Jangankan kenalan dosen orang tua saya bahkan tidak ada yang lulus S1 mbak Cindy, pendidikan ibu saya cuma sampai SLTA/SMA, ayah diploma. Alhamdulillah doa dan dukungan mereka mengantarkan saya pada titik ini.

      Semangat mbak Cindy, apalagi background sampeyan yang S1 luar negeri InsyAllah bisa menapak lebih baik. Semoga sukses dan kembali ke tanah air untuk mengabdi πŸ™‚

      Salam,

  3. halo mbak. saya puspa. saya ingin mengulang berkuliah S1 dengan jurusan Psikologi. sebelumnya saya sudah berkuliah s1 Keuangan Perbankan. dan saya bercita-cita mengambil S2 Psikologi dan menjadi Dosen. pertanyaan saya: apa ada batasan usia untuk menjadi Dosen untuk PTN atau PTS? karena saya coba searching di google perihal tersebut, apa saya masih memiliki peluang menjadi dosen di usia 42 tahun? saya tidak mendapatkan informasi yang pasti perihal batas maksimal usia menjadi dosen. mohon pencerahannya via email:alice_puspa@yahoo.com. Regrads

    • Mohon maaf mbak Puspa, saya semacam baru membaca komentarnya. Batasan usia tidak ada apalagi kalau sudah S3, berbeda kalau mau jadi dosen PNS. Setahu saya demikian. Semoga bisa menjadwab pertanyaannya.

  4. Halo mbak Yuita, terimakasih atas tulisannya. Sangat membantu sekali buat saya yang (InsyaAllah) akan mulai mengajar sebagai dosen di pertengahan tahun ini. Berhubung saya freshgraduate, saya butuh informasi2 seperti ini untuk membantu saya sebelum menjadi dosen.

    Dan.. ya, saya setuju dengan mbak Yuita, kalau niatnya karena Allah, InsyaAllah berpahala, dan kita jadi lebih semangat mengajar.

    Oh ya mbak, saya ada pertanyaan.. kalau menurut mbak bagaimana mengatasi gap antara generasi milenial dengan generasi z saat mengajar? apakah memang kita harus benar2 memahami perbedaan gaya belajar antara generasi tersebut agar memudahkan saat belajar?

    Terimakasih jawabannya,
    Salam kenal mbak Yuita

    • Halo mbak Raisah, salam kenal, mohon maaf ya baru merespon, bagaimana kabarnya? pasti sekarang sudah seru dengan pengalaman baru ya?

      InsyaAllah tetap ada perbedaan di tiap generasi dalam proses pengajarannya. Tapi yang paling penting komunikasi dua arah atara dosen dan mahasiswa yang efektif, sehingga tercapai proses belajar mengajar yang baik. Semangat selalu ya membersamai adik-adik mahasiswa. Sukses terus, Raisah πŸ™‚

  5. Pingback: Kerjaan Dosen itu Apa Saja Sih? | Selamat Datang…

Leave a Reply to Cindy Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *