Alhamdulillah, telah berada di penghujung tahun 2018. Dalam tahun ini alhamdulillah banyak pencapaian, meski tak signifikan, namun alhamdulillah, kami cukup bersyukur atas hari-hari kami di tahun 2018. Alhamdulillah. Di sisi lain, tahun 2018 merupakan tahun yang ‘berat’ untuk Indonesia terkait banyaknya bencana atau musibah yang terjadi dalam waktu berdekatan. Semoga keluarga yang ditinggalkan sabar dan tabah serta korban khusnul khatimah. Aamiin. Semoga hal ini menjadi refleksi kita bersama, baik dari segi analisis ilmiah untuk menanggulangi bencana maupun muhasabah diri kepada Sang Pencipta yang memiliki semua yang ada di bumi dan langit.
Akhir tahun 2018 ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, saya dan suami merencanakan untuk pulang ke tempat suami, untuk membayar pajak motor tahunan. Kami menyesuaikan pemesanan tiket menurut kalender akademik yang ada dan kemudian memutuskan memesan tiket serta segala tetek bengeknya mulai rute ‘menantang’ yang harus kami tempuh selama 10 hari.
Sekitar H-1 minggu sebelum mudik, ada informasi terkait membludaknya jumlah mahasiswa yang mendaftar untuk ujian sidang skripsi. Di samping itu ada deadline pengumpulan nilai UAS untuk diunggah ke dalam sistem. Untuk UAS sendiri saya sudah berkomitmen sebelum mudik sudah harus selesai semuanya termasuk menerima komplain dari mahasiswa. FYI, saya mengoreksi UAS 3 kelas yang sifatnya essay, jadilah saya sempat mengorbankan waktu 1 hari (hari Kamis) untuk tidak menerima bimbingan apapun untuk mengoreksi, tentunya sudah saya pertimbangkan apakah bimbingan tersebut mendesak atau tidak. Walhasil, benar, esok harinya (hari Jum’at) mulai pagi di kampus sampai sore hampir tak ada jeda. Hanya sekian belas menit untuk makan siang dan sholat.
Terlepas dari masalah deadline koreksian tadi, karena jumlah pendaftar ujian skripsi membludak artinya para dosen juga harus mengorbankan waktu liburnya demi mahasiswa agar mereka bisa ujian sidang sesuai rencana mereka. Hasilnya, yang seharusnya saya pulang maunya tanggal 4 Januari, jadi maju pas tahun baru. Itupun sebenarnya, sebenarnya nih ya, ndak ada libur sama sekali. Berhubung tiket sudah dipesan jauh hari dan sudah mengabari ortu kalau mau pulang, jadinya ijin. Alhamdulillah ijin diACC dengan resiko mahasiswa-mahasiswa bimbingan saya harus saya ‘lepas’ saat ujian tanpa saya. Begitulah antara beban menjadi pembimbing dan juga sebagai anak yang harus juga berbakti kepada orang tua. Berbagi hati, sesuai dengan judul pada artikel ini.
Pada perjalanannya, saya dan suami selama 10 hari menempuh rute yang tak biasa. Dalam 10 hari rute yang kami gunakan mulai Stasiun Blimbing, Malang- Stasiun Gubeng Surabaya (ngetem 3 jam), Stasiun Pasar Turi, Surabaya- Stasiun Tawang, Semarang (menginap 3 malam), Stasiun Purwokerto (menginap 5 malam di rumah Banyumas), Stasiun Yogyakarta (negtem 4 jam), stasiun Nganjuk (menginap 2 malam di rumah Nganjuk), dan kemudian langsung balik ke Malang tepat di tanggal 1 Januari 2018. Mengapa memilih rute sedemikian rumit? Demi tiket yang agak miring dan mengabiskan bonusan poin dari Traveloka untuk menginap di hotel semalam gratis (yang selanjutnya kami putuskan menginap di Semarang dan main-main di sana). Kalau Jogja sudah cukup sering sih. Ini rute terekstrim saya dan suami selama melakukan travelling dan di sela-selanya saya juga membimbing mahasiswa. 😀
Surabaya
Sampai di stasiun Gubeng sekitar pukul 10.30 WIB kemudian diriku kelaparan dong (padahal sudah sarapan) 😀 Akhirnya ya beli makanan di sana. Setelah makan, baru menuju Stasiun pasar Turi via Grab. Kereta ke arah Semarang berangkat sekitar pukul 13.00. Jadi, sesampainya di Stasiun Pasar Turi, masih sempat sholat dan juga beli chocholate ice (njajan lagi) 😀
Semarang
Sampai Semarang sekitar pukul 17.00 WIB, via Grab menuju hotel S*m*s*a yang tidak begitu jauh dengan stasiun Tawang. Alhamdulillah. Sesampai di hotel, ada drama, yang membuat kami sampai jam 18.30 WIB belum bisa beristirahat di hotel dikarenakan keruwetan manajemen di hotel tersebut, yang mungkin membludaknya jumlah pengunjung di hari libur panjang tersebut. Akhirnya, kami baru bisa beristirahat, bersih diri sampai pukul 20.00 WIB kemudian mencari makan malam di sekitar hotel, serta ke Superindo yang bersebelahan dengan hotel untuk membeli beberapa cemilan dan buah.
Semarang-Sam Poo Kong
Kami sepakat bahwa tidak ‘ngoyo’ untuk perjalanan ini karena rutenya sudah ‘ngoyo’. Kami pun baru menentukan hari ini ke mana, juga setelah selesai sarapan.
Tujuan pertama kami ke Sam Poo Kong, salah satu klenteng yang merupakan tempat pariwisata di Semarang. HTM 28K per orang dan kami menyewa pemandu untuk mengetahui sejarahnya. Menurut pengalaman kami selama travelling, kalau hanya sekedar foto-foto saja kurang greget, karena kita juga tidak akan tahu secara mendetail. Berbeda ketika kita menyewa pemandu, kita akan diceritakan detail dan kita bisa bertanya maupun berdiskusi. Setidaknya membuka wawasan dan membuat setiap perjalanan lebih mengesankan. Oh, iya sewa pemandunya 35K, kalau dulu di Taman Sari seikhlasnya (sudah pernah posting tentang Jogja).
Semarang-Lawang Sewu
Setelah ke Sam Poo Kong, kami memutuskan pergi ke Lawang Sewu. HTM 10K per orang, tak ada pemandu membuat kami cepat bosan mengunjungi tempat ini 😀 Beberapa sejarah tertulis di papan-papan yang ada di Lawang Sewu. Saat itu agak mendung dan karena libur panjang, maka antrinya sangat panjang sekali. Namun, tak terlalu lama menunggu antrian. Setelah dari Lawang Sewu. saya selalu mengamati di setiap sudut jalan terdapat pohon asem. Pas ngobrol sama suami, ternyata kata suami, pohon asem di Semarang ada sejarahnya dan saya disuruh Googling. Haha. Setelah itu kami memutuskan untuk pergi makan siang ke mall yang tak jauh dari Lawang Sewu.
Semarang-Masjid Agung
Setelah makan siang, memutuskan ke masjid Agung Semarang yang juga famous, sekalian sholat jamak. Masjidnya MasyaAllah uombo nemen. Saat kami sampai sana, mendung dan disertai gerimis tipis. Seusai sholat, kami
Semarang-Old Town
Dari stasiun ke hotel dan hotel ke stasiun, kami selalu melewati kota tua Semarang. Bangunan-bangunannya terlihat bangunan yang belum dipugar bekas peninggalan Belanda. Di kawasan Semarang Old Town ini ada 3D art museum.
Semarang-Musium 3D Art
Sepertinya tak begitu menarik selain berfoto-foo saja di sini. Bagi yang suka fotografer atau suka difoto tempat ini bagus karena konsep 3Dnya menimbulkan hasil jepretan seperti nyata. Ada sekitar 11 ruangan, masing-masing ruang bisa ada 7-9 spot foto sesuai tema. Ada yang tema hutan, tema laut, totalnya ada 120 spot foto. Tiket masuknya agak berlebihan sih 100K per orang. Buat saya yang capek kalau difoto terlalu banyak dan juga suami yang bahkan tidak suka foto tempat ini tidak direkomendasikan. Memang kami lebih cocok main ke alam terbuka, tidak cocok yang model-model museum seperti ini 😀
Anyway, keseluruhan gambar 3D yang ada dalam museum ini ditulis manual tangan oleh 2 orang yaitu orang Bali dan orang Korea, serta dalam dua tahun sekali gambar-gambar 3D tersebut diubah.
Setelah dari 3D museum kami menuju kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak sebelum jalan-jalan malam di Simpang Lima
Makan Malam (Sego Liwet)
Awalnya saya dan suami tak tahu mau makan apa, cuma ingin turun di Simpang Lima dan nanti tinggal mencari tempat makan di kawasan tersebut. Namun, saat perjalanan ke Simpang Lima ini, babang Grab merekomendasikan nasi liwet yang sangat terkenal dan rame serta satu-satunya di SImpang Lima. Ya, cuslah kami cobain. Ternyata ruame, tempatnya terbatas karena di pinggir jalan, dan makanannya enak. Hanya saja buat saya yang orang Jawa Timur, masakan ini sedikit manis buat saya. Harga bersahabat, kalau tidak salah berdua habis 25K, mas bojo lauk mendoan dan ayam, saya mendoan saja plus kerupuk ditambah 2 botol air mineral.
Semarang-Simpang Lima
Setelah kenyang dengan makan, kami menyeberang jalan dan menuju alun-alun Simpang Lima. Sangat ramai sekali ditambah banyak odong-odong kerlap-kerlip warna warni mengelilingi alun-alun. Pun juga ada sewa sepeda yang dilengkapi warna warni lampu LED, juga banyak sewa mainan anak-anak. Sangat padat dan saya menikmati malam-malam tersebut. Saya pun membujuk rayu mas bojo untuk sewa odong-odong yang 50K (yaitu paling kecil). Mengapa harus dibujuk? Sebab mas bojo harus ‘ngontel’ atau mengayuh odong-odong tersebut. Karena sayang sama istri, akhirnya mas bojo pun sampai keringetan mengantarkan saya memutari simpang lima. Terima kasih ya mas bojo :*
Semarang-Tugu Pahlawan
Setelah cukup puas muter-muter dengan odong-odong, kami beristirahat sebentar, sambil menurunkan keringat. Setelahnya kita lanjut menuju daerah Tugu Pahlawan dekat Simpang Lima. Referensi ini pun sebenarnya kami dapat saat ngobrol dengan babang Grab.
Semarang-Taman Indonesia Kaya
Tak jauh dari Tugu Pahlawan, ada Taman Indonesia Kaya, yang ada air mancur warna warni diiringi alunan musik-musik lagu nasional dan lagu daerah Indonesia. Air mancurnya memang tak seheboh Multimedia Fountain Park di Warswa atau di Dubai sih, tapi setidaknya ini cukup bagus. Selain a=air mancur di kawasan ini ada taman bagus untuk bersantai. Karena gerimis jadi kami tak berlama-lama untuk berada di area terbuka. Kami memutuskan untuk kembali ke hotel (eh mampir dulu ding ke Superindo beli buah) 😀
Semarang-Kampung Pelangi
Penasaran dengan Kampung Pelangi, kami memutuskan hari kedua pergi ke kampung Pelangi sebelum ke Grand Maerakaca. Sebelumnya konsep Kampung Pelangi ini sangat mirip dengan Kampung Tridi yang ada di Malang, yaitu menyulap kampung kumuh menjadi sesuatu yang lebih menarik karena warna-warninya cat rumah penduduk. Saya sudah pernah posting artikel terkait Kampung Tridi di sini. Karena saya sudah pernah ke kampung Tridi, saya memiliki ekspektasi yang sama seperti Kampung Tridi, namun, sayangnya tidak demikian.
Menurut saya, Kampung Tridi lebih bersih dan tertata, mungkin karena di Kampung Pelangi free entry jadi kurang perawatan. Kemudian penataan spot-spot instagramablenya tidak sama dengan Kampung Tridi. Jalan naik tangganya juga cukup curam, sehingga saya tak berani sampai ke atas banget karena jalanan juga licin. Sungai yang ada di kawasan tersebut baunya juga cukup menyengat, sehingga kurang nyaman untuk berlama-lama.
Semarang-Grand Maerakaca
Harga tiket masuk ke sini cuma 10K per orang, cukup murah. Di sini seperti Taman Mini, hanya saja ini khusus Jawa Tengah, jadi seluruh bangunan mini Kabupaten-Kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Selain itu ada kawasan Mangrove yang menyediakan sewa Perahu, Perahu Bebek, dan sebagainya. Saya dan suami memilih mencoba naik Perahu yang tiketnya seharga 5K untuk memutari kawasan Grand Maerakaca. Kami juga tak sempat mengelilingi semuanya, Rembang, Sragen, Kudus, Banyumas, Blora, Banjarnegara dan beberapa yang lain lupa, karena mendung yang sangat pekat dan kami memutuskan untuk langsung makan siang.
Semarang-Bandeng Elrina
Saya dan suami memutuskan untuk makan bandeng dan direkomendasikan babang Grab dimari. Akhirnya mencoba aneka masakan bandeng. Saya dua kali ke tempat ini saat makan siang dan makan malam karena penasaran dengan menu masakan bandeng. Siang hari saya dan mas bojo mencoba tengkleng bandeng dan pepes bandeng. Malamnya saya makan bandeng penyet, suami bandeng goreng biasa, padahal pengen nyobain garang asem bandeng, sayangnya sudah habis. Banyak yang sudah habis saat malam sekitar pukul 19.30 WIB, sehingga kami hanya memilih menu yang ada.
Sebenarnya saat malam mau ke Banjir Kanal namun karena hujan dan kata babang Grab macet serta sebenarnya belum diresmikan,akhirnya memutuskan makan malam saja serta membeli oleh-oleh bandeng ini. Beli 4 dos bandeng (yang vakum dan siap goreng maks. 5 hari). Per dos isi 5-6 bandeng. Setelah makan, kami ke Superindo lagi lalu jalan kaki menuju hotel.
Menuju ke Purwokerto
Setelah packing pagi hari, kami memutuskan tidak kemana-mana, meski kereta berangkat sekitar pukul 11.00 WIB dari stasiun Tawang. Seperti prinsip sebelumnya, ‘tidak ngoyo’. 😀 Jadi tidak terburu-buru dan masih bisa nyambi bimbingan juga unggah nilai ke SIADO (liburan sambil kerja). Sampai stasiun Purwokerto pukul 17.00 WIB. Setelah sampai di stasiun Purwokerto, kami memutuskan sholat terlebih dahulu (jamak takhir) sebelum menuju rumah, karena jarak stasiun rumah 30 menit via taksi dan pertimbangan macet, jadi sholat dulu.
Aktivitas di rumah Banyumas
Sesampai rumah, ada saudara yang menginap juga, jadi malam-malam itu jadi rame. Tiap pagi saya bantu ibu untuk kipas nasi. Jadi, di rumah itu apa-apa masih serba tradisional, karena bapak-ibu sukanya ya demikian, sederhana. Nasi dimasak 2 kali proses pakai dandang, habis itu diletakkan di nampan kemudian dikipasi, agar tidak kering. Setelah itu biasanya bantu masak, goreng-goreng apa gitu buat lauk biasanya. Kalau masak sayurnya cuma sekali saat menginap 5 malam itu, yang lainnya jadi asisten saja. Setelah masak pagi biasanya tiap pagi saya mencuci (no mesin cuci ya, dan no keran). Dua hari sekali tiap jam 6 pagi saya menemani ibu ke pasar untuk belanja.
Oh iya, sela-sela di rumah saya juga sempat bantuin ibu membuat keripik pisang yang kriuk-kriuk yang biasanya kalau dibawa ke kantor ludes hanya dalam hitungan menit. Bapak itu suka berkebun, jadi pisangnya ini juga pilihan, yaitu persilangan antara pisang Bawen dan pisang Gebyar, yang tak ada kalau ditemukan di pasar. Kata Bapak, ini pisang MasyaAllah karena besar-besar, satu sisir ada sekitar 8 sampai 9 pisang dan satu tundun ada 7 sisir. Cara pembuatan keripik pisan bisa membuat saya angkat tangan guys, harus telaten sekali.
Nyoba Trans Jateng
Ini dalam rangka menemani suami dan ponakan yang sama-sama penasaran dengan transportasi yang baru masuk ke Banyumas-Trans Jateng. Jadi, saya juga tak paham rute-rutenya mana saja. Jauh-dekat 4K per orang. Bayar di dalam bus, menunggu bus di halte. Saat itu awalnya suami bilang kalau mau nyoba ke Purbalingga terus nanti langsung balik lagi. Pada perjalanannya si ponakan minta sampai Bukateja, yaitu ujung dari rute ini. Pulang-pergi satu jam lah hanya untuk nyoba Trans Jateng. Ternyata banyak penumpang yang juga melakukan hal sama, hanya nyobain transportasi ini. 😀
Small World, Baturaden, Jawa Tengah
HTM 25K per orang. Small world ini representasi dari icon-icon terkenal di dunia bentuk miniatur. Ada menara Pisa, ada Burj Al Arab, Eiffel, dst. Selain itu juga ada beberapa miniatur rumah daerah. Menurut saya konsep bagus, cuma kurang maksimal seperti perawatan miniatur. Kalau dibuat open air museum seperti Skansen di Swedia kayaknya lebih bagus deh. Jadi tiap miniatur ada orang yang berpakaian khas negara/daerah situ. Bisa untuk foto-foto atau menceritakan sejarah. Ya, pokoknya lebih membuka wawasan saja deh. Sebenarnya sudah ada papan-papan tulisan di depan miniatur, namun nampaknya kurang dilirik, kebanyakan yang saya lihat orang-orang hanya fokus foto-foto. Ke sini dalam rangka mengajak ibu jalan-jalan.
Yogyakarta
Lagi-lagi demi murah tiket dan niatan jalan-jalan, kami memutuskan berhenti di Yogyakarta sebelum menuju Nganjuk. Ada jeda sekitar 4 jam, kan lumayan. Harapan kami sebelumnya, kita akan meletakkan barang di tempat penitipan (menurut informasi ada locker di stasiun Jogjakarta) kemudian kami jalan-jalan dan makan siang di sekitar Malioboro. Namun, faktanya adalah, hujan deras melanda ditambah locker barang penuh. Okelah, takdir kami mendekam 4 jam di Malioboro, tak diperkenankan jalan-jalan. Akhirnya kami makan siang di Loko cafe di stasiun sambil menunggu kereta berikutnya. Killing timenya adalah membuat draft menulis dan mendengarkan video-video siraman rohani 😀
Nganjuk, kampung masa kecil
Kami sudah berencana pulang tanggal 4 Januari, karena beban ujian skripsi akhirnya saya harus merelakan memangkas liburan di Nganjuk. Dengan pertimbangan, bapak-ibu masih sering main ke Malang biasanya 2-3 bulan sekali, jadi masih sering bertemu. Hanya dua malam saya di rumah Nganjuk dengan aktivitas nyuci, masak, ngobrol, melepas penat di rumah. Sempat mau mengajak ibu buat naik Grab dan mengajari bagaimana naik Grab, namun sayang drivernya lagi sibuk semua. Mungkin karena kami pesannya pas malam tahun baru, jadi sedang rame-ramenya. 😀 Tepat tahun baru di pagi hari saya dan mas bojo diantara bapak-ibu ke Malang dari Nganjuk. Sekalian main.
Alhamdulillah, finally home…
Alhamdulillah kami sampai di rumah, rumah yang tepat 1 tahun kami tempati, rumah kecil kami yang InsyaAllah akan berusaha untuk menghasilkan kebaikan-kebaikan dari sini. Alhamdulillah perjalanan akhir tahun kami cukup menyisakan kenangan melekat akan bagaimana pun kami jauh sebagai anak rantau, rumah kediaman dan orang tua kami tetap harus kami perhatikan sebagai bakti kami sebagai seorang anak. Pun, kewajiban pekerjaan yang secara tidak langsung menggerakkan hati saya untuk tetap membimbing mahasiswa selama 10 hari ini. Banyak makna yang tersirat maupun tersurat di 2018 dan semoga tahun 2019 membawa kebaikan dan keberkahan bagi kita semua. Aamiin..
PS: ditulis saat di stasiun Yogyakarta menunggu kereta ke Nganjuk, dilanjutkan malam tahun baru, kemudian baru selesai subuh di Malang tanggal 2 Januari :)) Dicicil ya..