Saya dan suami sepakat bahwa kemampuan ini harus kami miliki dan juga anak-anak miliki nantinya. Kemampuan untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan, berdamai dengan masalah dan menyelesaikannya, menghadapi masa-masa sulit yang banyak meneteskan peluh dan air mata, kemampuan untuk hidup mandiri, serta kemampuan untuk tetap semangat dan segera bangkit.
Di mana pun level kita saat ini, baik yang punya privilidge atau tidak secara materi, menurut saya kemampuan ini tetap harus diasah. Pasalnya dalam kehidupan ini, seperti yang kita alami, akan ada ujian-ujian yang datang silih berganti untuk dapat meningkatkan kedewasaan dan kemampuan kita dalam menghadapinya. Pada prinsipnya, manusia akan terus menjadi pembelajar yang tangguh. Sederhananya, survival skills ini terbentuk saat diri ini mandiri.
Hidup mandiri, pada kenyataannya, buat sebagian orang, tidak mudah. Kalau sudah pernah merantau saat menimba ilmu, kemampuan ini sedikit demi sedikit terasah. Anak kos itu kemampuan bertahan hidupnya benar-benar roller coaster ya antara tanggal muda dan tanggal tua π Weits, anak kos untuk kalangan menengah ke atas tetap beda ya π€ Anggap saja, yang saya sertakan di sini sebagai anak kos di middle level, yang mana mereka harus belajar bagaimana mengatur keuangan, memastikan dirinya sendiri sehat selalu, bertahan dengan lingkungan yang mungkin menerpa idealisme, bagaimana mereka harus menahan rindu untuk pulang, dan di saat yang bersamaan mereka harus tetap kosentrasi terhadap ilmu yang akan mereka timba. Belum kalau misalnya ada yang punya tanggungan mondok atau kerja paruh waktu, kemampuan ini secara tak langsung meningkat. Anak kos cem demikian juga sudah terbiasa mengambil keputusan-keputusan sendiri dengan pertimbangan yang sedemikian matang.
Eh, tapi kan hidup itu bergantung juga ke sesama atau makhluk lain? Ya iyalah ya, namanya juga makhluk sosial. Kemampuan bertahan hidup ini kalau menurut saya ibarat mental yang kita miliki saat kita dihadapkan pada ujian-ujian untuk naik level tadi. Berkomunikasi, meminta bantuan, bekerja sama, menghargai pencapaian orang lain juga termasuk cara kita menekan ego yang membuat cara pandang kita lebih luas dan berempati lebih.
Kemampuan bertahan hidup ini juga lebih berguna lagi saat sudah berumah tangga. Orang yang sudah berumah tangga itu kompleks ya (bukan berarti sulit), banyak yang didiskusikan, banyak yang terus diperjuangkan bersama-sama, banyak tujuan yang dicapai bersama-sama sampai surgaNya. Buanyak sekali PRnya. Jadi, kalau masih single sudah banyak ngeluhnya, ya dikurangi saja. Terlebih, kalau ada yang bilang “pusing skripsi mending nikah saja” itu gemes ya rasanya. π Nikah tidak semudah itu dibuat pelarian masalah broh, sist. Gampangannya, skripsi saja susah apa lagi berumah tangga. Ibarat nyelesein tanggung jawab diri sendiri belum beres, sudah lanjut ke yang lain. Menyatukan dua orang berbeda darah, beda keluarga, problemnya bisa jadi semakin kompleks. Nah, kalau skripsi kan tanggung jawab sendiri. Selesaikan juga tanggung jawabnya itu, kecuali you can manage your time sih tak masalah. Nikah itu enggak enak-enak saja, gak cuma romantis-romantis saja, kalau saya bilang siapin mental jauh hari agar survival skills dalam keluarga itu terbangun. Ketika bisa struggle bareng pasangan itu dan melalui berbagai fase ujiannya adalah level romantis yang sesungguhnya. β€οΈπ§‘ Karena kita gak akan cuma protes saja, tapi take an action.
So, well, itu tentang pentingnya memiliki kemampuan bertahan hidup dari sudut pandang saya as perantau sejak 14 tahun silam. Sudah pernah berpindah 6 tempat kos, 1 Malang, 1 ke Surabaya, 1 di Dorm Sezam Warsawa, 2x pindah kos saat balik lagi ke Surabaya setelah dari Eropa, dan 1x di Malang lagi saat berkarir awal menjadi pengajar sebelum menikah. Setelah menikah, kami memutuskan untuk kontrak rumah. Ini juga perjuangan, saya akan sharing di artikel yang lain, InsyaAllah ya. π€
See you πΏβοΈπΊπΌ
@Baitti jannati, selepas subuh, habis masak, bikin burjo, sayur sup, tempe, dan siapin gurami kecap yang dibuat semalem. Ramadan H+10.