Assalamualaikum, sahabat Arumhsa. Kali ini mau mengisi kolom “Ibu dan Anak” terkait pengalaman mensiasati GTM. Gerakan Tutup Mulut atau yang sering disingkat dengan GTM merupakan fase yang hampir pernah dialami bayi yang mulai masuk masa MPASInya. Ya, minimal sekali dua kali pernah selama berasa di fase tersebut. Berhubung, lumayan juga yang bertanya dan sharing tentang ini, maka saya tulis di sini. Jadi murni dari pengalaman pribadi ke N ya. Pada dasarnya, mommy lah yang paling tahu kebutuhan anak-anaknya masing-masing, dan tiap anak beda-beda responnya.
Menurut kami, N termasuk tipikal yang tidak ribet soal makanan semenjak dimulainya program MPASI, beda sekali dengan emaknya yang picky eater. Alhamdulillah. Idealnya makan itu duduk manis tanpa tontonan, 30 menit selesai, tapi prakteknya tidak semudah itu kan ya, Bund? Awalnya feeding rules diterapkan, tapi karena lama-lama kurang pas akhirnya ya senyamannya bocah dan ortu :D. Karena sebenarnya makan ini harusnya adalah sesuatu yang bisa dinikmati, bukan dipaksakan. Sehingga, jalan saja, poin pentingnya, makan 3 kali sehari sesuai di rentang jam makannya dan dicobakan untuk makan apa saja: karbo, sayur, protein (nabati dan atau hewani), buah. Di sela-sela jam tersebut boleh snack.
Assalamualaikum. Halo semuanya π Di postingan kali ini saya akan membahas sedikit mengenai rangkuman kunjungan orang tua yang dilakukan secara rutin di sekolah N. Sebenarnya, tiap kali mengantar dan menjemput N di sekolah, selalu ada laporan yang disampaikan sensei terkait dengan aktivitas dan perkembangan N selama di sekolah. Sekolah pun juga memiliki satu aplikasi khusus yang digunakan interaksi untuk merekam semua laporan aktivitas mulai bangun tidur, makanan apa yang di makan tiap kali makan pagi siang sore, suhu, berat badan dan tinggi badan tiap bulan. Semuanya sudah lengkap. Akan tetapi, masih ada juga parent’s visit day yang artinya peran orang tua untuk perkembangan anak itu juga sangat diperhatikan di sini, tidak serta merta tanggung jawab sensei saja. Oh iya, aplikasi yang ada di sekolah N tadi juga terintegrasi secara sistematis, aksesnya pun terbatas hanya sensei dan orang tua saja.
Sebenarnnya ini adalah visit kedua kami sebagai orang tua, visit pertama khusus melihat anak-anak bermain atau beraktivitas saat di sekolah dengan para sensei. Itu pun kami hanya bisa mengintip, diberi celah untuk melihat di dekat pintu, sehingga anak-anak tidak bisa melihat bahwa orang tuanya datang. Kami hanya diberi waktu sebentar untuk melihat, kemudian sensei mengajak diskusi kami, menanyakan: bagaimana kesan melihat anak beraktivitas di sekolah? apakah ada saran atau masukan? Jadi dua arah komunikasinya. Kami melihat N juga tampak happy sekali bermain sama teman-temannya. Meskipun, saya yakin juga tentunya ada kesulitan dari diri N untuk menyesuaikan, apalagi dari segi bahasa, but I trust in her. Semoga selalu dalam penjagaanNya. Penuh dengan ridloNya. Aamiin.
Baik, di visit day yang kedua ini, sensei ingin secara intens ngobrol dengan kedua orang tua. Dengan menggunakan machine translator (aplikasi-aplikasi yang membantu kamu selama di Jepang, bisa cek di sini.) Topik yang dibahas seputar:
Aktivitas Bermain
Guru menjelaskan aktivitas bermain yang dilakukan N
Dulunya cenderung kurang aktif karena masalah bahasa, tapi sensei mengajarinya pelan-pelan dan N mudah menirukannya. Sehingga dia menikmati suasana bermain dengan baik. Sensei juga merasa surprise dengan perkembangan N.
Bingung mengatakan bagaimana meminjam mainan temannya dalam bahasa Jepang, akhirnya dia mencoba mengambilnya, namun sensei memberikan contoh mengatakan bagaimana meminjam dalam bahasa Jepang dan N dapat melaluinya.
Sensei mengatakan kalau N suka bermain dengan anak-anak usia di bawahnya. (Ini dulu juga sempat disampaikan pengasuh2nya N saat daycare di Malang, suka main sama adik bayi).
Berpakaian Mandiri
Di sini ada tanya jawab untuk penyelarasan bagaimana tentang berpakaian secara mandiri di sekolah dan di rumah.
Di sekolah sensei mengajarkan anak-anak untuk melepas dan berpakaian sendiri. Jadi N sudah bisa melepas dan menggunakan pakaian dan celananya sendiri. Kemarin saya sempat diberikan notice oleh sensei saat pakaian Nadia full kancing sehingga dia masih kesusahan untuk melepaskannya. Rata-rata pakaian sebelumnya memang tidak berkancing, dan rata-rata pakaian dengan teman-teman yang lain cenderung seperti kaos.
Oh iya, saya sempat beli tas kecil khusus anak atas saran sensei, karena ternyata anak-anak juga disarankan untuk merapikan barang-barangnya sendiri.
Haloo readers setia blog Arumsha. Assalamualaikum..
Masih ada sambungannya dengan artikel sebelumnya ya? Jika berkenan untuk berkunjung dan membaca, silakan menuju tautan berikut. Memilih sekolah, mulai daycare, di sini tidak serta merta milih, daftar, masuk. Meskipun itu di private school. Jadi, semua harus terdaftar di balai kota terlebih dahulu dan tidak mudah mendaftarnya karena beberapa berkas penting harus disiapkan sebelumnya. Soal perlu bisa Nihongo atau tidak, sepertinya tidak perlu-perlu amat, karena di balai kota sini sebenarnya ada translatornya. Kalau kami, alhamduliah semua dibantu prosesnya oleh sekretaris sensei kami langsung yang menggunakan full Nihongo.
Apa saja dokumen yang perlu disiapkan?
Akta nikah kedua orang tua. Kalau belum ada terjemahannya, silakan diterjemahkan.
Buku vaksin anak dari Indo dibawa.
Residence permit yang sudah diurus sebelumnya (diberi alamat tinggal)
Buku tabungan dengan akun bank Jepang. Jadi nanti akan ditanya, anak di sini tanggung jawab siapa, karena pemerintah akan memberikan subsidinya via rekening yang dimaksud.
But well, buka akun bank ini tidak bisa sehari jadi gaes π . Pasalnya perlu punya nomor HP. Sementara, pesan nomor HP di Jepang itu juga tidak mudah, tidak bisa langsung jadi juga, masih butuh waktu paling cepat 24 jam untuk sampai ke alamat di residence permit. Selain itu butuh stamp identitas kita. Butuh waktu gaes.
Health insurance card. Ini dapatnya setelah mengurus residence permit. Kartunya itu juga baru datang beberapa hari kemudian.
Formulir yang buanyak yang harus diisi kebanyakan dalam Nihongo. Yosh!
[Nanti kalau tiba-tiba ingat ada tambahan, saya tambahkan di sini]
Pilihan sekolah
Pemilihan sekolah ini pertimbangannya adalah dekat orang tua kerja atau dekat rumah tempat tinggal. Dari balai kota itu ada semacam buku yang isinya semua sekolah beserta kuotanya dan diberikan kepada kita. Jadi kita bisa mengamati kuota yang ada di sekolah yang mau dituju, apakah penuh, apakah ada yang masih kosong. Berhubung N itu datang di bulan April maka sudah terlambat untuk masuk tahun ajaran baru, sehingga semua kuota public school sudah penuh. Jadi, pertimbangkan juga hal-hal ini jika mau menyekolahkan anak. Kita diminta memilih 3 pilihan sekolah sesuai preferensi. Dua pilihan pertama kami jatuh ke public school, selanjutnya karena public school penuh semua maka private school masuk ke pilihan ketiga. Iya, tetap harus masuk dalam daftar sekolah pilihan. Jadi kapan pun ada yang kosong di public school, bisa pindah langsung dengan follow up berkala informasi di balai kota. Jika kedua orang tua sama-sama bekerja, maka menjadi prioritas khusus dalam kuota ini (high priority). Prediksinya sih baru bisa masuk public school next year.
Sebenarnya, ada public school yang kosong untuk umur N saat ini, tapi jauh lokasinya, sekitar 30 menit PP menggunakan sepeda. Kalau transportasi umum? Sungguh di sini tidak efisien. Lebih terasa jauh lagi kalau nggowes saat cuaca dan suhu ekstrim seperti musim panas atau musim dingin.
Jadi…
Tetap enak di public school karena pertimbangan harga π . Kalau secara kualitas di Jepang ini sudah standar, jadi memang kebanyakan Japanese ya di public school. Kalau di public school lebih banyak temannya. Tapi tetap terbatas kuota. Satu kelas bisa cuma 9-10 anak. Gemes banget pas visit ke public school diajak room tour dengan kepala sekolahnya ditemani sekretaris sensei di lab kami. Kawaaiii anak-anaknya. MasyaAllah..
Baiklah, sekian dulu ya informasi sekilas tentang public atau private school di sini. Semoga bermanfaat. See you π
Lihat kambing di kampus. Salah satu aktivitas yang ada di nursery school N terkadang jalan-jalan di sekitar sekolah. Salah satunya pernah jalan-jalan bersama sensei dan teman-temannya ke Okadai daigaku -tempat YahBun studi-, untuk melihat dan memberi makan kambing di kampus.
Berbeda dengan di Indo, daycare di sini seperti sekolah. Anak-anak akan dikelompokkan berdasarkan usianya. Berhubung N masih di private school saat ini, jadi belum terlihat jelas perbedaannya. Ya, karena di private school jumlah anaknya lebih sedikit. Namun, saat visit ke public school (yang N harapannya pindah ke sini kalau sudah ada kuotanya), kelompok anak berdasarkan usia itu jelas. Akan tetapi, pada dasarnya kedua tempat tersebut sama: punya aktivitas yang jadwalnya sudah tersusun rapi. Misal, jam 9-10 snacking time, jam 10-11 playing time, kemudian lunch sampai tidur siang hingga pulang itu sudah terpola dengan teratur.
Bagaimana proses adaptasinya?
N pertama kali masuk daycare bertepatan dengan proses sapih saat usia kurleb 21 bulan, dan ke Okayama di usia 26 bulan. Jadi, kalau ada yang tanya bagaimana penyesuaian pas pertama masuk ke sekolah sini, N butuh waktu 2 hari. Dua hari pertama dia nangis pas datang, pulangnya ceria. Hari pertama itu, kepala sekolahnya yang langsung turun tangan gendong N dan mengajak N bermain sampai nangisnya benar-benar reda. Kebayang ya, dia sendiri yang bukan Japanese kemudian langsung dilepas begitu, butuh adaptasi. Paham banget kondisi N. Kalau di Indo masih ya dulu pertama kali N masuk daycare ya ditunggui dulu, lama-lama pelan-pelan bisa ditinggal. Dulu awal-awal ya butuh waktu, sekitar 1-2 minggu penyesuaian. Jadi, saya bilang rencana Allah jauh lebih indah, karena waktu itu saya yang harus berangkat dulu meninggalkan N dan Ayahnya sementara. Dengan penyesuaian daycare di Indo ternyata secara tidak langsung memiliki dampak yang cukup kuat, terutama dari kemampuan bersosialisasi.
Enaknya kalau di private school lebih fokus, 1 anak bisa 1 sensei. Gak enaknya ya mbayarnya yg jgn ditanya π. Tentunya kondisi ini berbeda dengan di public school. Kalau pas visit di public school kapan hari, 1 sensei maksimal pegang 3 anak. Sebenarnya kondisi ini mirip dengan daycare N di Indo, satu terapis, maksimal 3 anak.
Jadi, hari ketiga dan seterusnya, N pergi dan pulang ke/dari sekolah dengan senang hati. Sampai sering ikut da-da da-da sama ortu temennya yang sama-sama sedang menjemput. Alhamdulillah π Kadang pas weekend, pas mau ajak N keluar jalan-jalan bilangnya “N mau berangkat ke sekolah” π “Ya, besok Senin nduk, sik Sabtu iki” π€ Oh iya, jadi, pas masuk ke nursery school pertama kali ada masa adaptasi, yang mana 4 hari pertama itu 2 jam, 4 hari berikutnya 3 jam dan seterusnya hingga penuh waktu dengan penambahan durasi berkala. Tentunya dengan seperti ini membuat adaptasi semakin ringan prosesnya.
Sama seperti yang saya temui di Indo, daycare di sini, bisa mulai umur 0 bulan, dan apakah half time atau full time itu tergantung kondisi dari orang tuanya. Apakah kedua orang tuanya sama-sama bekerja full time atau hanya salah satu saja yang bekerja. Kalau kedua ortu full time, maka anak otomatis full time juga.
Bagaimana dengan tuition fee?
Terkait tuition fee (kalau di public school) juga tergantung dari penghasilan ortu. Ada subsidi untuk anak dari pemerintah Jepang? Ada, pemerintah juga memberikan ini untuk setiap anak yang tinggal di Jepang. Ini juga tergantung dari penghasilan ortu dan usia anak. Ingat gaes, ini subsidi alias bantuan. Jadi, sebenarnya printilan kebutuhan sekolah di sini itu bisa dibilang buanyak, apalagi dihadapkan dengan 4 musim yang berbeda tentu dari pakaian saja sudah melahap sebagian besar dari subsidi tersebut. Ya, yok opo rek, jer basuki mawa beya, kabeh gegayuhan mbutuhake ragat. Bener, nggak? Hehe. Yasudah, diusahakan saja, InsyaAllah ada jalan. Kalau usia sekitar 2 tahunan yang dibutuhkan mulai training pants, popok, set baju (3 pasang), apron, sapu tangan, cover futon, futon, selimut, tas anak, dll.
Baiklah, sekian informasi yang semoga bermanfaat. Barangkali buat persiapan juga yang mau sekolah di sini. Sekalian mengisi tulisan di blog yang sepertinya vakum karena ownernya sik repot π . Terima kasih sudah berkunjung. See you!
Setelah mempertimbangkan beberapa bulan, akhirnya hari ini memutuskan untuk membeli sepeda baru untuk N. Alhamdulillah, tentu saja cari yang murah di kawasan Jl. Gatot Subroto dekat Pasar Besar. N sudah ada ketertarikan naik sepeda, karena teman sebayanya atau anak-anak tetangga yang wira-wiri gowes keliling komplek kalau cuaca cerah.
Perjalanan dimulai sangat santai, kami memesan Grab Car menuju ke lokasi sesuai rekomendasi yang pernah kami dapatkan di @infomalang. Sempat nyasar juga, karena kami belum pernah ke lokasi. Sebelum ke Gatot Subroto, kami ke daerah Comboran. Sampai lokasi, bingung tempatnya di mana, alhasil berdasarkan Google Map, yasudahlah kami turun GrabCar dan menelusuri alamat tersebut. Matahari bersinar gagah dan menyengat menemani kami jala kaki menyusuri toko yang dimaksud, hingga tibalah kami akhirnya menyerah dan sudah lah tanya abang mie ayam pinggir jalan. Eh, ternyata tokonya tutup. Lhaaa… Yasudah mau naik GrabCar lagi juga gak pasti turunnya di mana, akhirnya kok ya ndilalah ada bentor persis di seberang penjual mie ayam. Naiklah bentor. Ya Allah, padahal sebelume mbatin kapan ajak N jalan-jalan naik bentor seperti di yangkung-yangti dulu. Hihi.
Alhamdulillah, MasyaAllah, saya akui, proses memulai untuk menyapih ini sangat berat, benar-benar butuh kesiapan mental sang Bunda. Pasalnya, kalau ibunya mentalnya sudah kuat, akan mudah mengendalikan emosi yang sangat campur aduk itu untuk kemudian menjadi penenang juga untuk si anak. Kerja sama yang luar biasa dari Ayah juga diperlukan. Satu hal yang super duper penting, selalu melibatkan Allah dan selalu karenaNya, karena seluruh perasaan yang berkecamuk itu dariNya dan Dialah yang mampu memberikan ketengangan. Allah ya Rabb.
Singkat cerita, saya memulai untuk menyapih ini sebenarnya dalam kondisi yang tidak siap, semua berasa terlalu cepat, dan dalam level kegiatan yang lagi padat-padatnya. Akan tetapi, saya sepertinya harus memulainya, karena saya tidak tahu seberapa lama N akan adaptasi dengan proses menyapih ini. Jadi, saya menyiapkan durasi atau jeda sedikit lebih lama. Kalau dari referensi atau artikel yang saya baca, bahkan ada yang mulai 4 bulan sebelum dua tahun, atau 6 bulan sebelumnya sudah ada sounding. Bismillah, saya pun mulai tanya beberapa buibu yang sudah berpengalaman sebelumnya di IGS. Ada yang langsung disapih bisa, 3 hari, 4 hari, seminggu, 6 bulan, 8 bulan, bahkan ada yang baru bisa menyapih saat usia anak 4 tahun. Benar-benar pengalaman yang berbeda masing-masing Bunda.
“semua anakku gak ada yang weaning with love yang ada weaning with war”
“Memori anak-anak tentang menyusui gak diingat mereka saat mereka besar”
“Kuncinya di ibu, ibunya harus tega, harus kuat dengar tangisan anak”
“Saat disapih mereka itu kerasa, makanya yang ada malah nempel terus”
“Semangat ya mbak, semoga Allah mudahkan. Sounding terus pas mau bobo “
“Temani anak, peluk, dan jangan ditinggalkan”
“Anak-anak itu, dari alam bawah sadarnya ketika kita kasih tau berulang-ulang, bakal ngerti”
Minggu kemarin, sayasenang sekali bisa mendapatkan kabar bahwa mbah uti akan berkunjung ke rumah ini. Pandemi ini membuat perantau seperti saya ini menahan rindu yang teramat sangat, apalagi semenjak hamil N saya belum pernah mudik lagi ke Banyumas. Minggu kemarin juga pertemuan N yang pertama kalinya dengan mbah utinya. Terharu. Setelah semua dipastikan untuk vaksin dosis lengkap (2 dosis) barulah kami bisa bertemu seperti ini. Pertemuan yang cukup singkat dan sarat makna. N langsung cocok sama mbah utinya, padahal kalau dipiki-pikir ketemu saja belum pernah, mentok mendengarkan suara beliau saat telepon. MasyaAllah. Ikatan batin itu sepertinya benar-benar ada.
N yang menginjak usia ke 14 bulan, untuk pertama kalinya terpaksa harus ke luar kota di masa Pandemi ini. Agak was-was dan ketar-ketir bagaimana nantinya, sudah tidak berfikir panjang karena kondisi darurat dan sangat mendesak. Postingan kali ini masih ada hubungannya dengan postingan sebelumnya yang ini. Alhamdulillah, MPASI N sudah family food sejak N 10 bulan dan N sudah lancar untuk jalan kaki sendiri.
Dua puluh tujuh Maret dua puluh dua satu lalu, aku telah memantapkan hati untuk membersihkan isi freezer, yang artinya membuang ASIP yang memang sudah expired. Antara tega dan tak tega, tapi buat apa aku menyimpannya? Toh juga udah expired, sudah 6 bulan, terakhir pumping ternyata bulan Agustus. Aku sudah jarang menggunakan ASIP semenjak MPASI. Pernah beberapa kali terpakai karena mau mengajarkan N pakai dot, meski bisa, tapi tak sebanyak DBF, tapi tidak bisa dibilang sedikit juga. Pernah kutinggal sebentar dan aku meninggalkan ASIP untuk N. Tapi, memang tidak lama masa itu, sampai sekarang juga DBF disambi dengan mengerjakan banyak hal. Alhamdulillah. π€²π€ Kalau pun mau ninggal untuk keperluan sebentar, biasanya aku aku pumping seperlunya, hingga stok yang ada memang fresh.
Halo moms, aku buat satu post tentang FAQ ini untuk menjawab pertanyaan yang sering muncul di artikel yang pernah aku tulis pada 3 April 2020 yaitu Lahiran di RSIA Melati Husada Malang. Menurut statistik yang terekam pada blog saya, artikel ini setiap minggunya diakses cukup banyak pembaca, terima kasih ya yang sudah mampir. Akhirnya pun buanyak sekali pertanyaan yang mungkin belum sempat terbalas sampai kadang ada banyak juga yang menghubungi saya via DM di IG. Beberapa pertanyaan sebenarnya ada yang sama, jadi agar lebih praktis, saya buat artikel khusus FAQ ini ya moms. Aku juga mau mohon maaf yang besar sekali kalau ada pertanyaan dari tahun kemarin hingga saat ini yang belum kebalas ya moms. Semoga saya dimaafkan, hehe. Ini pertanyaan yang ada di blog dan DM IG ya moms, sebagian yang sudah saya balas di blog saya tidak tulis lagi di sini.