Masa dimana kita diberi waktu sejenak untuk berubah dari satu fase untuk masuk ke dalam fase berikutnya. Dan tentunya dengan tingkat zona kenyamanan yang berbeda. Ada kalanya masa transisi tersebut membuang waktu, menghabiskan tenaga dan pikiran, dan tak jarang juga biaya. Sehingga ada salah satu hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan dalam masa transisi ini, yaitu masalah menata hati dan mengatur sedemikian rupa sehingga emosi kita tetap berada pada garis adrenalin yang sewajarnya.
Masa transisi seperti apa sih? Masa transisi dari SD masuk ke SMP. Dari SMP masuk ke SMA. Dari SMA masuk ke jenjang perguruan tinggi. Dari jenjang perguruan tinggi masuk ke dunia kerja. Dari single menjadi berubah status menikah. Dan seterusnya, dan seterusnya. Mungkin masih banyak fase yang lain lagi, yang tidak terlalu mainstream yang seperti saya sebutkan. Dalam masa transisi pasti ada yang namanya sebuah proses adaptasi dan pengenalan jati diri. Tak ayal banyak masalah ketika menghadapi masa-masa ini. Hmm, sederhananya, sebenarnya masalah tidak akan datang kalau kita yang tidak membuatnya rumit. Jadi dalam masa transisi ini cara berfikir, cara bertindak, cara mengambil keputusan mengajarkan kita arti kedewasaan.
Tidak jarang ada beberapa yang kaget dengan sebuah perubahan, karena metamorfosis dari zona nyaman ke zona yang ‘lebih menantang’ itu beragam level kesulitannya. Semakin ‘menantang’ ibaratnya semakin dapat menguji kemampuan dan kesanggupan kita ada di garis mana, sejauh mana kita bisa survive dengan keadaan tersebut. Terkadang idealisme bisa runtuh, ego tidak bisa selalu diutamakan, dan kehendak kita tidak bisa dipaksakan. Kita dituntut untuk bersosialisasi dengan beragam karakter orang, yang tak jarang membuat kita terkejut. Namun lagi-lagi kita harus bisa membedakan mana yang seharusnya kita kerjakan secara profesional tanpa harus baper (bawa perasaan). Kita yang bisa mengukur kemampuan kita, orang lain hanya bisa menilai dari permukaannya saja. Masa transisi adalah saat yang tepat untuk mengaplikasikan kemampuan kita dalam bersosialisai dan bertahan hidup dengan segala resiko yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Jadi, jika memang perubahan zona itu akan membuat kita lebih baik, akan dibuang sayang kalau kita tidak mencobanya, bukan?
Hidup ideal. Siapa yang tidak menginginkan hal itu? Mungkin sepersekian persen yang akan menjawab tidak ingin hidup ideal. Semua ingin kalau rencana dan impian itu terwujud. Namun di masa transisi ada kalanya apa yang telah kita rencanakan sebelum-sebelumnya, bisa gugur satu per satu karena ada seleksi alam di lingkungan kita yang tidak bisa dihindari. Haruskah putus asa? Mungkin orang yang kehabisan ide yang akan memilih jalan putus asa, sementara kalau mau diambil sisi positifnya, kita bisa belajar tentang kreativitas dari ketidakmudahan itu. Memang lingkungan yang positif itu adalah lingkaran yang memiliki perekat motivasi life time. Rasanya ada benarnya, jika banyak yang bilang semakin banyak kata-kata negatif yang masuk ke dalam relung otak dan hati kita, kualitas diri kita akan mengikuti arus bimbang, merasa tidak percaya diri, selalu fokus pada kekurangan diri dan kekurangan lainnya. Suram bukan? Surat Al Ashr ayat 1-3 cukuplah menjadi bahan renungan kita. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang merugi. Aamiin.
Hadapi masa transisi dengan senyum ikhlas dan ikhtiyar tanpa batas! Bismillah 🙂
~Surabaya, musim kemarau yang berharap hujan segera datang~
kiyaaa semangat qaqa Sariii <3
Inggih dek Arumjeni, sami2. Sampeyan nggih kedah semangat terus 😀
Tulisan dg topik mainstream tp dg gaya penulisan yg renyah, enak dibaca buat yg lagi galau dg masa transisi. Semoga yg lagi galau2, bs sgera menemukan jati diri pd tahap transisi ke sekiannya… 🙂
@mas nanang : Aamiin, semoga doa tersebut terkabul :D. Maturnuwun cak sampun mampir dan sempat meninggalkan jejak. Random banget tulisan ini, gara2 dikejar target minimal satu bulan sekali posting satu artikel dan bingung mau nulis apa, sementara ini sudah mendekati akhir bulan 😀 *Bikin tugas sendiri, panik sendiri pas deadline* 😀