Postingan kali ini sebenarnya digunakan untuk melengkapi episode dibuang sayang, karena catatan ini menjadi satu file yang tercecer diantara tumpukan folder. Ya, sambil bersih-bersih file di komputer, gak ada salahnya berbagi catatan ini dan mungkin dapat berguna buat teman-teman sekalian yang ingin tahu serba serbi kuliah di negara Polandia. Dulunya catatan ini dibuat karena request untuk memberi testimoni selama kuliah di Warsaw University of Technology (WUT) di Polandia. Check this out, 😉
Kesempatan dari beasiswa Erasmus+ program Master Exchange saat itu mengijinkan saya untuk mencicipi jurusan Ilmu Komputer di salah satu universitas di ibukota Polandia, Warsaw University of Technology (WUT). Ada suka dukanya itu sudah pasti, namanya juga mahasiswa. Iya kan? Program beasiswa saya berlaku untuk 10 bulan tepat. Saat exchange itu saya tercatat sebagai mahasiswa S2 Teknik Informatika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya. Akhirnya saya bisa merasakan kuliah di negara 4 musim yang ternyata adaptasi menghadapi 4 musim pertama kali cukup membuat saya pernah alergi dingin pertama kali pada musim gugur, atau banyak jerawat ketika musim semi tiba dan menjadi sangat hitam pada musim panas. Ya, itu sebagian warna-warni kuliah di Polandia. Menyenangkan dan penuh kenangan. 🙂
Well, kuliah di dalam negeri saja terkadang susah, apalagi di luar negeri kan? Pasti sedikit banyak itu yang terlintas dalam pikiran kita. Saat itu saat terberat buat saya untuk lulus atau menambah satu tahun kuliah ke Eropa dan tanpa gelar pula. Mungkin kalau bertandang pada gelar semata saya tidak akan mengambil jalan itu, namun pada akhirnya saya mengambil jalan yang cukup beresiko itu. Apapun itu saya tetap mensyukuri jalan yang telah saya dapat dan usaha yang telah saya ambil. Alhamdulillah saya diperkenankan merasakan kuliah S2 di 2 negara yang berbeda (2 tahun di Indonesia, 10 bulan di Polandia) dan merasakan sistem pendidikan yang berbeda pula. Proses adaptasi itu tidak mudah pada awalnya. Perbedaan signifikan terkait teman belajar, dosen, bahasa, lab, project, semuanya menjadi peraduan yang tak kunjung habisnya bagi para penuntut ilmu cupu seperti saya. Dalam sudut pandang saya perbedaan sistem pendidikan itu menarik, sehingga saya berusaha untuk selalu serius kuliah disana (sambil jalan-jalan juga sih hehe). Karena saya yakin pada nantinya pasti ada metode belajar mengajar yang bisa dijadikan panutan, terutama buat saya yang masih baru di dunia akademisi ini. To be honest, perpaduan kedua sistem tersebut menjadi perfect match dalam kehidupan pendidikan S2 saya.
1. Di ITS mirip S3, di WUT mirip S1
Di ITS S2 Informatika sudah dibiasakan mereview paper dan terjun ke dalam penelitian yang keluarannya adalah sebuah paper. Sistem ini dibuat agar mahasiswa-mahasiswa lulusan S2 ITS siap untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi, yaitu S3. Ternyata memang benar, di WUT untuk hal-hal yang berbau membuat paper itu lebih cocok untuk level S3,untuk skala S2 paling banter di WUT kita disuruh membuat scientific report, yaitu laporan lab atau project yang sifatnya unpublished. Saya pernah mengambil satu mata kuliah non teknis yaitu Methodological and Ethical Aspect of Research dan saya lebih banyak menjumpai mahasiswa S3 dalam kelas tersebut. Sekolah S2 di WUT sistemnya hampir mirip sama seperti saya kuliah S1. Jadi dapat kuliah, dapat ujian, dapat project, dapat lab, lengkap sudah. Lantas perbedaannya apa? Perbedaannya materinya sangat detail sekali. Ibarat kalau di S1 kita cuma tau permukaannya saja tentang A dan seringnya telan mentah saja semua materi, sedangkan di S2 WUT kita bisa mengetahui kelemahan A, kelebihan A, cara apa untuk mengatasi kelemahan A dan sebagainya. Intinya analisisnya lebih kuat.
2. Antara dosen dan mahasiswa
Cenderung tidak ada gap dan dosennya open minded akan kritikan dari mahasiswanya, bahkan ada bertanya langsung apa yang kurang dari metode mengajarnya serta ada masukan untuk solusinya bagaimana. Kalau di Indonesia kadang kita masih menjumpai beberapa dosen yang masih membuat gap jauh dengan mahasiswanya. Kalau saya pernah belajar sedikit tentang educational data mining saat S2 di ITS dulu, naik turun perfoma mahasiwa itu sangat tergantung dari berbagai faktor, terkadang bukan hanya faktor yang ada di lingkungan sekolah itu saja, namun juga lingkungan di rumah atau tempat bermain. Sehingga butuh komunikasi yang bagus antara dosen dan mahasiswa. Kalau punya gap yang terlalu jauh dengan mahasiswa, kita tidak bisa menganalisis apa masalah mahasiswa tersebut dan mengatasinya. Make sense sih, meskipun memang untuk beberapa kasus tidak bisa dipukul rata, karena adat ketimuran dan budaya sangat santun orang Asia dapat menunjukkan identitas kita. Beberapa dosen saya di WUT saat itu mengatakan kalau orang-orang Asia terkenal santun. Jadi positifnya meski tidak ada gap, sebagai mahasiswa kita tetap harus menghormati dosen, setidaknya kita harus bisa membedakan mana yang dalam forum atau diluar forum.
3. Teman-teman di kelas cenderung aktif
Mereka termasuk golongan agresif dalam menerima ilmu. Pun ketika dosen melontarkan “any question?” selalu ada aja yang angkat tangan dan kemudian terjadilah diskusi. Sejauh saya studi di Indoesia fenomena tersebut memang jarang sekali ditemui. Tanpa iming-iming tambahan poin, tambahan nilai keaktifan, atau tambahan parameter nilai lainnya, mereka cenderung aktif. Saya merasa semakin ‘tenggelam’ diantara mereka. That’s why saya merasa lebih bersalah kalau tidak belajar seperti mereka. Sejauh ini memang saya tidak pernah bertanya kalau gak ditanya, akhirnya setiap ada yang tidak paham saya selalu bertanya dulu ke teman-teman, siapapun saya tanya. Kalau saya masih bingung saya tanya ke dosennya langsung saat break.
4. Teman diskusi yang menyenangkan
Karena saya merasa mahasiswa Indonesia sendiri yang tak punya siapa-siapa saat di fakultas tempat saya menuntut ilmu, akhirnya saya tidak punya malu juga untuk berdiskusi dan bertanya kepada mereka. Dari situ saya punya banyak teman, sehingga tak begitu susah ketika mencari teman kelompok kalau ada tugas kelompok. Setelah kenal, mereka begitu baik sama saya, bahkan menawarkan untuk diskusi materi sebelum ujian. Terlebih ada yang mengajari dan menjelaskan sedetai-detailnya ketika saya tidak paham, meskipun dia sering mengulang beberapa kali sampai saya benar-benar paham. Saat belajar bersama saya mencoba untuk sudah siap dengan bahan diskusi, misalnya mau belajar tentang bahan ujian, jadi siapkan semuanya sebelum bertemu mereka. Karena merasa dibawah rata-rata, saya getol mengerjakan soal di dorm sebelum bertemu mereka. Tidak semua bisa saya kerjakan, tapi mostly saya jawab dengan pemahaman saya. Itu cukup daripada datang diskusi dengan tangan kosong. Ada suatu waktu saya aktif dalam diskusi itu karena saya yakin kalau apa yang saya kerjakan sudah benar. Rasanya seperti diskusi itu hidup, saling memberi masukan, tidak hanya satu arah. Saya suka diskusi seperti ini meski diantara kerumunan diskusi itu saya cewek sendiri. Kritikan yang membangun itu membuat saya selalu ingin belajar.
5. Suka duka mengerjakan tugas kelompok
Lebih dari 3 kali saya bekerja kelompok dengan teman yang berbeda-beda negara. Kurang lebih sama dengan di Indonesia dan yang saya alami sebelum-sebelumnya. Kadang ada rasa tidak cocok dengan teman sekelompok. Pertama kali saya berkelompok untuk mengerjakan project dengan teman dari salah satu negara di Benua Amerika. Anaknya rajin banget sampai membuat saya tidak bisa tidur. Terlalu rajin membuat saya tambah stress karena sewaktu-waktu dia bisa menelpon saya sampai 2 jam untuk membahas tugas, termasuk akhir pekan dan ketika jalan-jalan. What a day!. Baru pertama kuliah di Eropa kebagian teman satu kelompok yang totally different sama karakter saya, entah bisa dikatakan berkah atau musibah. Memang saat itu kita pernah sepakat untuk menyelesaikan project sebelum liburan musim dingin.Dengan ketidakcocokan tersebut, awalnya saya cuma bisa dongkol, menggurutu, dan mengerjakan tugas dengan tidak ikhlas, hingga suatu waktu saya sudah tidak sabar lagi, rasanya ingin marah. Terbawa arus budaya Indonesia, saya curhat ke salah satu teman Indonesia yang sudah lama studi di Eropa. Dia hanya bisa menyarankan kalau saya harus terus terang dan bicara baik-baik dengan teman kelompok saya yang unik bin ajaib itu, tidak perlu sungkan katanya, orang Eropa sudah biasa blak-blakan. Suka bilang suka. Enggak bilang enggak. Well, fine!. Saya mencobanya dan it works! Tidak perlu basa-basi, akhirnya teman kelompok saya merubah cara kerjanya dan saya bisa menyesuaikan. Cukup solid hingga akhirnya kita mendapatkan maksimum point di project kita.
Nah itu salah satu kelompok dari sekian teman kelompok saya. Ada yang males juga modelnya, dan cenderung lari dari tanggung jawab yang berujung hanya titip nama saja. Paling banter dia jilid tugasnya itu aja, selebihnya dia benar-benar tidak kerja! Ada yang sebaliknya, tugas kelompok berdua, saya baru saja melontarkan ide pada diskusi pertama, selanjutnya tidak ada diskusi lagi, saya mencoba bertanya-tanya dan saya sungguh tidak paham apa yang dia inginkan. Pada suatu malam dia mengabari aku bahwa semua tugas dan laporan sudah selesai. What! Padahal saya paling tidak suka orang macam itu, meskipun memang dia anaknya pintar dan rajin, tapi tidak bisa menghargai kalau punya kelompok. Ya, begitulah geram, tapi dia baik sih, ya sudahlah. 😀
Di lain mata kuliah saya berkelompok dengan satu teman yang rajin, namun dia sangat terbuka, dan this is the real team!. Saat saya bekerja lebih cepat dari dia, dia mencoba mengimbangi, begitupun ketika saya kebingungan melanjutkan pekerjaan. Ibaratnya kita bisa mem-backup satu sama lain, hingga setiap progress yang kita hasilkan selalu pass ketika dikumpulkan.
6. Mahasiswa perempuan tergolong minoritas di jurusan IT
It always happened to me. Rasio gender mahasiswa di Indonesia yang studi di jurusan IT rata-rata 3:1 (jumlah mahasiswa laki-laki : perempuan), namun perbandingan disana lebih dramatis. Satu kelas isinya 20 lebih, terkadang saya perempuan sendiri atau paling sedikitnya 3 : 20 antara perempuan dan laki-laki dalam satu kelas. Nah, tapi disana mereka sama sekali tidak mempedulikan itu. Baik mahasiswa perempuan atau laki-laki dihargai sama, karena kita dianggap mempunyai kemampuan yang sama. Buat saya, terkadang masih susah untuk menyetarakan kapabilitas ilmu dengan mahasiswa dan mahasiswi lokal asli Polandia. Saya pernah satu kelas sama teman cewek asli Polandia yang mengambil mata kuliah yang sama dengan saya saat itu. Dan suatu waktu kita terlibat dalam satu tim untuk mengerjakan project. Selain tercatat sebagai mahasiswa master di WUT, dia juga part timer sebagai programmer dan kemampuannya menyerap materi sangat cepat dan luar biasa. I learnt many things from her. Saya terbiasa dengan mikir praktis. Dia sudah berfikir jauh dan analisisnya kuat sekali untuk memperhitungkan x, y dan z. Jadi semakin ingin membuang jauh-jauh melibatkan gender dalam dunia informatika. Saya pun mengikuti alur kerjanya.
7. Tidak ada presensi!
Ini menarik. Di Indonesia mahasiwa diikat dengan aturan yang harus datang dalam perkuliahan minimum 80% * jumlah pertemuan. Jika kurang dari presensi yang telah ditentukan, maka tidak bisa mengikuti ujian akhir semester. Namun berbeda sekali disana, di WUT mau tidak masuk, mau hanya masuk saat ujian silakan, tidak ada yang melarang. Namun, saya jarang menjumpai kawan-kawan saya yang bolos atau lebih tepatnya sengaja membolos. Seakan-akan mereka memang butuh hadir di perkuliahan. Saya pernah sengaja tanya sama salah satu teman saya. Katanya esensi kuliah itu tidak di nilai saja, tapi di ilmu dan kemampuan. Dunia kerja tidak mengenal apa itu nilai kuliah, nilai itu hanya masuk di bagian administrasi, selanjutnya kemampuan yang dipakai. Kurang lebih dia menjelaskan seperti itu. Statement yang jarang saya dengar. Rata-rata mereka tidak khawatir atau takut gagal di suatu mata kuliah. Sebagai catatan, saat kuliah disana, kita harus melalui poin tertentu untuk mendapatkan pass (lulus mata kuliah itu). Dari rentang 1-5 kita harus mendapatkan at least 3 untuk pass. Mudah? Jalani saja. Berusaha yang terbaik dan berdoa itu lebih baik. Hehe.
8. Break 15 menit setiap setelah 1 jam
Ini adalah poin yang paling saya suka ketika perkuliahan. Hampir semua mata kuliah, semua dosen memberikan istirahat 15 menit setiap setelah satu jam pelajaran. Biasanya saya langsung memaikan mesin minuman dan memilih coklat hangat seharga 3zł untuk melengkapi suasana istirahat. Setelah break rasanya sangat fresh dan siap menerima materi berikutnya. Sambil kuliah kita juga bisa minum kopi, teh, coklat, dan itu sangat santai. Di Indonesia, saya sering mengalami kuliah 3 SKS berturut-turut yang jatuhnya saya penuhi dengan sering menguap dan berujung pada tidak paham apa yang dijelaskan dosen. Bisa dibayangkan kalau 3 SKS itu berawal dari pagi hari dan berakhir sore atau petang. Ya, yang ada mungkin jiwa dan raga ada di kelas, pikiran sudah melayang kemana-mana. Sepertinya sekali-kali metode break ini perlu diterapkan di perkuliahan 3 SKS berturut-turut agar suasana kelas tidak membosankan.
9. Disiplin : toleransi keterlambatan 15 menit.
Mereka selalu tepat waktu. Aturan toleransi terlambat 15 menit itu sudah hampir berkalu tidak diperkuliahan saja, tapi ketika kita membuat janji dengan teman disana. Misalnya ada tugas kelompok, jika ada salah satu anggota kelompok tidak datang lebih dari 15 menit bisa langsung ditinggal. Di Indonesia? Silakan dinilai sendiri. Di Indonesia, saya pribadi sering mengalami sendiri kalau ada teman kelompok yang terlambatnya tidak tanggung-tanggung mulai 1 jam, yang paling parah sampai 8 jam, yang ujungnya gak jadi dateng. Miris. Terkait hal tersebut pernah posting disini. Di WUT sendiri dosen terlambat lebih dari 15 menit dianggap tidak masuk dan mahasiswa boleh meninggalkan kelas saat itu juga. Ada suatu mata kuliah menerapkan hal tersebut juga pada mahasiswa. Jika mahasiswa terlambat maka pintu akan ditutup dan mahasiswa tersebut hanya diperbolehkan masuk di jam berikutnya setelah break. Alasannya kita harus bisa menghargai waktu dan orang yang datang terlambat itu mengganggu perkuliahan yang sedang berlangsung. Pernah waktu itu saya terlambat satu menit, sampai di kelas pintu sudah ditutup, saya ngos-ngosan, dosennya mempersilakan saya masuk, karena beliau baru mau mulai perkuliahan. Rasanya lega sekali. Tak lama di belakang saya ada teman saya yang berlari-lari menuju kelas, namun sayangnya pak dosen sudah menyuruhnya keluar lagi dan mengijinkan masuk di jam berikutnya.
Begitulah kurang lebih serba-serbi kuliah di Polandia yang bisa saya utarakan di testimoni ini, semoga bermanfaat bagi teman-teman yang ingin melanjutkan kuliah ke Polandia. Jalani saja, tidak seseram yang dibayangkan. Semuanya akan terasa menyenangkan ketika kita sudah berada di batas akhir dengan hasil yang tak terduga, so dinikmati saja. Selamat belajar! 😉
Regards,
Master Exchange Interweave Erasmus Plus 2014- Warsaw University of Technology (WUT)
Manteppp rek
@Azmi wah long time no see di dunia per-blog-an Mi 😀
Wah… salah satu mimpi saya untuk bisa kuliah di luar negeri. Saat ini baru semeter 2 Manajemen di salah satu universitas swasta di Jogja. Tapi selalu pesimis kalau lihat masalah biaya… kuliah di luar negeri itu mahal. Tapi kepengen banget bisa kuliah di luar negeri.
Hi Putri. Ada pepatah “banyak jalan menuju Roma” Dulu pepatah itu sering saya ucapkan dan pada suatu waktu saya benar-benar bisa menginjakkan kaki ini di Roma. Tidak disangka. Lupakan dulu masalah biaya, karena beasiswa LN sudah banyak bertebaran di luar sana. Yang paling penting selalu tingkatkan kualitas diri baik hard skill dan soft skill. Good luck ya Putri! Semoga impiannya kelak tercapai 🙂
kak, boleh bagi emailnya kakak gak? pengen nanya nanya gimana bisa kuliah di polandia kalo kakak gak keberatan
sudah aku email ya..
kak, boleh bagi emailnya gak? saya pengen nanya nanya gimana bisa kuliah di polandia kalo kakak gak keberatan
aku PM ya 🙂
Saya baca syaratnya harus lulusan teknik, benarkah? Padahal saya ingin kuliah di sana dan ambil jurusan tentang konservasi bangunan yang katanya di sana bagus untuk belajar tentang itu. Jurusan s1 saya pendidikan teknik bangunan
Saya kurang tahu kalau masalah itu 🙂 Coba langsung di kampusnya…
Halo mbak. Menarik sekali membaca tulisan mengenai kuliah di luar negeri khususnya ke Polandia (salah satu negara tujuan saya untuk kuliah tahun ini, rencananya) yang rinci seperti ini. Kalau boleh aku dibagi email atau nomor HP, aku mau tanya-tanya lebih lanjut tentang beberapa poin jika tidak keberatan, Mbak? Terima kasih sebelumnya. Saya tunggu, Mbak! 🙂
Sudah saya email ke email mbak Shima ya.
Salam kenal.