Liburan akhir semester dimulai dan mumpung ada waktu sebentar, mau berbagi corat coret sedikit dan berbagi pengalaman. Kemarin-kemarin mau menulis saja masih mencari celah yang tepat #soksibukmemang 😀 Well, sebenarnya postingan ini terinspirasi dari beberapa pertanyaan yang muncul ke saya dalam kurun waktu setahun terakhir. Yup, cukup sering, mengingat saya tergolong baru masuk sebagai tenaga pengajar di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Yuk, kita mulai, mari kita berdoa terlebih dahulu sebelum membaca 🙂
“Sekarang sudah jadi dosen tetap ya disitu?” (biasanya pertanyaan ini muncul pertama kali, dan kemudian saya sudah tahu pertanyaan selanjutnya, 😀 saking seringnya ditanya).
“Wah, denger-denger susah nih ya sekarang ini dapat NIDN di PTN?” (Hmm iya in saja dulu, biar cepet :D)
“Sekarang NIDN lebih diprioritaskan untuk PTS, kalau PTN Non PNS dapatnya NIDK?” (Nah lho.. gimana donk? ada aturan baru 😀 )
Kalau kedua pertanyaan diatas biasanya dilontarkan oleh para akademisi, kalau non akademisi biasanya tanyanya gini ” Mau jadi PNS ya jadi dosen PTN?” (Sekedar informasi saja PNS bukan prioritas saya :p ) “Enak ya bisa langsung PNS kalau masuk PTN” (Ya..kale… sawang sinawang mbak sis, mas bro, turun ke lapangan baru menyimpulkan yes. Oke? 😀 sudah sudah jangan ngomongin soal PNS, jabatan struktural atau apapun itu ya, jujur bukan itu satu-satunya yang ingin saya kejar). Kembali ke topik utama ye.. Hehe.
Lha sekarang apa seh NIDN itu? Mengapa kok gak mau ngomongin PNS?
Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) adalah nomor induk yang diterbitkan oleh Kementerian untuk dosen yang bekerja penuh waktu dan tidak sedang menjadi pegawai pada satuan administrasi pangkal/instansi lain (Permenristekdikti No. 26 Tahun 2015). Menurut aturan Permenristekdikti tersebut, pemerintah juga meluncurkan identitas baru yaitu NIDK dan NUP (lebih jelasnya pada referensi [2]).
Karena profesi dosen itu sedikit istimewa, mau PNS atau Non PNS asal memiliki NIDN, hak dan kewajiban yang diterima juga akan sama, jabatan fungsional, maupun sertifikasi dosen (serdos). Lha terus bedane opo? Bedanya cuma di tunjangan pensiun saja, kalau PNS kan dapet tuh, kalau non PNS enggak. Sudah itu saja menurut referensi yang saya baca dan juga pengalaman beberapa orang akademisi yang pernah saya wawancara secara langsung. Lha sekarang ada NIDK juga, bedanya sama NIDN apa? Pensiunan NIDK bisa diperpanjang sampai 70 tahun untuk non professor, NIDN pensiunnya 65 tahun. Hmm anyway di permenrisntekdikti saya belum menemukan apakah hak yang diterima NIDN sama dengan NIDK, mengingat ini hal baru, saya belum banyak menemukan referensi. Mungkin untuk pembaca yang sudah memiliki NIDK, boleh sharing juga pengalamannya disini. Feel free ya 🙂
Yasudah deh balik ke masalah mengapa Nomor Induk Dosen yang terdaftar di DIKTI itu penting? Mau NIDN kek, NIDK kek, pokoknya identitas itu penting, mengapa? Kalau saya boleh menganalogikan, ibarat mau nikah nih, kalau cuma nikah siri saja kan kurang kuat (meski sah-sah juga secara agama), namun lebih kuat juga kalau tercatat di catatan sipil to? Sama halnya dengan dosen. Lebih nyaman kalau terdaftar di PT tempat mengabdi dan terdaftar juga di DIKTI. Lalu dimana kondisi saya sekarang? Saya termasuk yang belum mempunyai NIDN tersebut sih :D. Lha ya iya wong belum ada setahun masa kerja juga kok maunya aneh-aneh. :D. Pengennya lulus S2, mengabdi, dapat NIDN langsung (kalau ini agak mekso sih ya) 😀 . Sempat kepikiran juga, wah gimana passion untuk riset tetap jalan kalau belum punya NIDN. Sementara dengan memiliki NIDN kita bisa mengajukan pendanaan untuk penelitian, bebas bergerak untuk berkarya. Desas desus pun mulai menghinggapi telinga saya, mulai dari yang bikin hopeless sampai yang terus support saya. Karena iya, saya memang masih panas-panasnya tertarik pada dunia riset semenjak S2, jadi rasanya kok langit jadi tak berbintang kalau saya stuck dan tidak fleksibel bergerak pada dunia penelitian #halah. Wong masih ingusan juga di dunia penelitian sok banget ngomongnya 😀 Saya kira memang NIDN ini sesuatu kebutuhan bagi kaum dosen.
But wait! “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah yang ada pada diri mereka (QS 13:11)”. That’s! Kalau kita fokus terhadap apa yang belum kita dapatkan memang rasanya selalu susah untuk maju, namun InsyAllah Tuhan selalu menyiapkan yang terbaik buat kita kok ya. Minimal pengalaman yang kita miliki dan juga cara kreatif untuk mengatasi apa yang belum kita dapatkan itu juga bagian dari anugerah. Intinya memang stay positive itu kekuatan tersendiri. Hal penting yang lain itu juga masalah lingkungan. Mencari lingkungan yang benar-benar kondusif dan positif akan cita-cita kita juga tidak mudah, bagaikan menentukan jodoh. #eyaaa.. 😀 Cuma langkah awal memilih lingkungan itu penting (serius ini ya 😀 ).
Terus gimana caranya, tetap bisa melakukan penelitian meski tanpa NIDN?
Beberapa cara yang bisa kita gunakan, tapi konsekuensinya bersiaplah untuk menurunkan idealisme serta egoisme, for good tentunya. Tak akan ada sesuatu yang sia-sia. *catet dulu hal ini* Ada beberapa skema yang diambil, karena you know selama belum punya NIDN kalau ingin mendapatkan hibah penelitian DIKTI atau apapun pakai skemanya DIKTI, tidak akan bisa terdaftar sebagai ketua ataupun anggota. Berikut yang bisa saya bagikan kurang lebih berdasarkan pengalaman saya selama 4 tahun terjun ke dunia penelitian baik langsung maupun tak langsung:
a). Ikut penelitian internal berhibah.
Biasanya Fakultas ataupun Universitas memiliki skema ini, namun untuk yang non NIDN tetap tidak bisa mengajukan penelitian sebagai ketua, bisanya sebagai anggota. Ada beberapa penelitian internal yang mewajibkan semua anggotanya berNIDN. Karya memang tidak bisa dibatasi, jadi kitanya saja yang jangan membatasi diri. Kita bisa bekerjasama dengan dosen senior berNIDN untuk berkolaborasi, mengembangkan kemampuan kita dan bisa bermanfaat lebih banyak tentunya.
- Ada beberapa kondisi yang nantinya menuntut kita bekerja lebih banyak, namun kita tidak menjadi yang utama dalam hitam diatas putih. Solusi: Tidak masalah! Seriously. Disini kita bisa menggali ilmu lebih dalam, belajar referensi lebih banyak, belajar bekerja dalam tim, bahkan untuk bekerja secepat jet coaster saat deadline. Hasil tidak akan pernah bisa menghianati proses. Mengasah kemampuan tidak seinstan membuat pop mie (aduh sebut merk), butuh jam terbang itu memang betul. Jadi disini memilih tim yang solid yang bisa membuat kita lebih maju itu menjadi point of interest. TAPI!!!! jangan seperti ini terus-terusan, cukup beberapa pengalaman saja cukup, kalian tetap punya hak sebagai nama pertama kalau memang semua ide dan pekerjaan yang kalian lakukan itu dari tenaga kalian semuanya. Bagaimnapun juga itu tidak bisa dibenarkan.
- Kalau output dari penelitian tersebut adalah paper/jurnal biasanya kita tidak bisa menjadi menjadi penulis pertama. Ini sebenarnya salah satu kelebihan lho. Kok bisa? Ini akan jadi suatu kelebihan JIKA, penulis pertama dalam paper kita itu orang yang benar-benar kompeten dalam penelitian, minimal sudah Doktor dan mempunyai h-index >2 di Scopus atau Google Scholar which is sitasinya sudah ratusan! Keuntungannya apa? Ini pengalaman saya pribadi lho ya yang baru seumur jagung sekali lagi. Jadi, selama saya menjadi penulis pertama itu tidak terlalu banyak yang mensitasi, tapi kalau nama pertamanya sudah sangat senior di bidangnya, beda cerita lagi, h-index kita jadi terbantu untuk naik juga karena lebih credible untuk disitasi. Beberapa dosen saya dulu juga pernah bercerita bahwa track record di dunia penelitian itu memang penting dan berpengaruh terhadap penelitian kita di masa depan. Dulu dosen saya juga pernah bilang bahwa ukuran kebermanfaatan sebuah tulisan itu kepada seberapa banyak tulisan tersebut disitasi. Jadi kalau masih pada fase belajar memang kita butuh orang yang banyak support kita. Suatu saat kita akan memetik buah dari apa yang telah kita tanam for sure. Suatu saat kalau tiba saat kita dituntut berada di garda terdepan, kita sudah siap. #apasih #sedikitdrama 😀
b). Ikut penelitian eksternal yang dimana tidak membutuhkan persyaratan NIDN
Biasanya dana hibah yang diberikan pada skema ini tidak main-main. Sudah bermain di puluhan (>50juta), ratusan juta bahkan “M” (Makasih maksudnya?). Namun kembali lagi, selama saya melihat dan mencoba menelusuri, siapakah orang-orang yang pernah mendapatkan skema ini. Ternyata juga wow track recordnya, jauh mah saya. Hampir belum menemukan yang benar-benar newbie kemudian kejatuhan durian (ini mah sakit atuh), langsung dapat hibah puluhan sampai ratusan juta. Kalau menurut cerita dari beberapa senior, kalau belum pernah mendapat hibah puluhan juta, jangan berharap banyak dapat ratusan juta, kalau belum pernah punya pengalaman mendapat hibah ratusan juta, jangan bermimpi untuk mendapatkan M. Begitu kurang lebih, meski tidak menutup kemungkinan imposibble is posible, namun persentasenya tidak terlalu besar. Nah, lagi-lagi kita butuh pengalaman kan? Butuh starting point yang pas dari bawah, bukan berada tiba-tiba di atas. Untuk skema ini saya hampir pernah mencobanya, namun tidak jadi submit, dikarenakan kesusahan membagi waktu dan tenaga, lagi pula pengalaman juga belum cukup-cukup amat 😀 #selaluadaalasan #janganditiru 😀
c) Penelitian mandiri
Ini sih paling aman memang 😀 dan tidak ada salahnya mencoba kalau ada rejeki berlebih. Itung-itung investasi lah. Saat belajar menulis paper ilmiah pertama kali, saat seminar nasional, saya juga biaya sendiri (sebenarnya saya ambil dari tunjangan penelitian beasiswa Unggulan saya sih) 😀 Kalau boleh saran, meski mandiri nulisnya lebih baik tidak mandiri, tapi tetap tim. Mengapa? Karena menulis bersama tim itu biasanya menjadi pertimbangan lain selain masalah track record. Dulu dosen-dosen saya memberi wejangan kalau menulis paper usahakan selalu dalam bentuk tim, karena pada dasarnya memang dua kepala lebih baik dari satu kepala (namun kalau terlalu banyak itu juga gak baik). Kerja tim menjadi penilaian tersendiri, terutama dalam segi kualitas. Kalau dilogikakan, kita mengambil data, validasi data, ngoding, analisis, membuat paper atau bahkan translate kan agak berat kalau dikerjakan perseorangan, meski make sense saja. Wong kita skripsi dan tesis sendirian juga bisa kok ya? 😀 (Tapi kan ada supervisor, tetap ada orang lain di belakang kita). Meski kita memiliki porsi lebih banyak dalam kerja tim, namun pertimbangan anggota tim yang lain itu penting sekali. Saling melengkapi lah pokoknya. 😀
Intinya banyak jalan menuju Roma, meski jalan yang kita tempuh tidak semulus yang kita impikan, tapi selama sisi positif itu bisa diambil, why not? Pengalaman pahit dan manis akan menjadi tempaan yang bisa membangun karakter kita menjadi lebih baik. Jadi, memang membangun vibra positif dalam lingkaran kehidupan kita itu menjadi vital, karena itu salah satu hal yang bisa menentukan masa depan kita. Jadi mengapa harus berhenti berkarya meski belum memiliki NIDN? 😉
Semangat berkarya untuk dosen muda di seluruh tanah air Indonesia tercinta! 🙂
Referensi:
- http://www.jawapos.com/read/2016/01/12/15575/-kemenristekdikti-luncurkan-identitas-baru-untuk-dosen
- http://staff.unila.ac.id/priyambodo/files/2016/01/permenristekdikti-26-2015.pdf
- http://www.kopertis12.or.id/2016/06/09/arahan-ditjen-sdid-kemristekdikti-terkait-nidn.html
- http://www.kopertis12.or.id/2013/03/29/waspadai-bila-anda-dosen-tetap-pts-bernidn-ingin-melamar-cpns-dosen.html
- http://www.kopertis12.or.id/2013/03/06/apakah-dosen-tetap-non-pns-di-ptn-berhak-peroleh-nidn-jabatan-akademik-dan-tunjangan-serdos.html
Tak akan ada sesuatu yang sia-sia, #catet
aduh tulisan ini sebenarnya belum selesai mas… 😀 Salah pencet tombol saking ngantuknya 😀 Akan diupdate sebentar lagi 😀
Shareable … kamu semakin pintar menulis anak muda
Terima kasih suhu @Izzah…monggo2.. 😀 ditunggu tulisan terbarunya..
trs skrg mba nya udh ber-nidn jd nunggu brp tahun mba bs ber-nidn/nidk??
Sudah, baru beberapa bulan yg lalu ti tahun ini. Hal tersebut tergantung instansi masing-masing mas Aditya.
trs skrg mba nya udh ber-nidn jd nunggu brp tahun mba bs ber-nidn/nidk mba??
saya kira tuh setelah kita masuk ke dosen non pns, lsg dibuat nidn nya oleh kampus ternyata msh menunggu waktu..😂
diliat kinerja kita dulu kah mba selama bbrp tahun baru dibuatkan nidn oleh kampus
mohon sharingnya mba sy jg dosen baru soalnya disalah satu PTN..😊
Pingback: Milestone Penelitian Tahun 2018 | Yuita Arum Sari
Mbak nya di Brawijaya mbak, salam kenal ya mbak, saya juga baru saja mengajar alpro di D3 rekam medik STIA, saya juga belum ber NIDN/NIDK tapi saya sangat tertarik untuk menjadi dosen dan meninggalkan kerjaan saya yg lama 😁😁😁
Semangat!
Assalamualikum, kalo status dosen luar biasa tapi py NIDN gmn?tidak ada hak apa2 selaku dosen tetap, dan sulit mendapatlkan kesempatan diPerguruan lain krn sudah py nIDN, ketambah dg py NIDN tetap terlibat dalam tridarma tp ga ada support dr kampus terkait dana..apakah nidn masih tetap dipertahankan?atau harus dihapus saja?kalo mau hapus caranya bagaimaba ya?mohon jika tdk keberatan menjelaskan terkait ini?terimakasih
Waalaikumsalam. Saya belum pernah ada pengalaman terkait hal tersebut. Sebelumnya bagaimana ceritanya punya NIDN namun tidak mendapatkan hak sebagai dosen tetap? Kalau masalah pendanaan (terutama riset) jika punya NIDN bukankah bisa mencoba hibah dari luar sebagai ketua? (kalau misalnya di kampus tidak support dana). Beberapa kawan pernah bercerita tentang hal ini dan dia mendapatkan support dari hibah-hibah riset di luar kampus. Kalau memang berdedikasi untuk on track jadi dosen mengapa NIDN harus dihapus?
Oh iya, untuk pindah instansi saya rasa bisa, asal homebase asal mengizinkan dan menguruskan administrasinya. Beberapa kawan saya bisa, mungkin beda kampus beda kebijakan.
Bismillah, Assalamu`alaikum warohmatullohi wabarokatuh, saya dosen tidak tetap (tidak punya NIDN), dan saya sudah lama mengajar di PTS itu, pengin untuk lanjut S3 via beasiswa dan berkarya, tp kayaknya beasiswa S3 mensyaratkan wajib dosen tetap dan Ber-NIDN, ada bebrapa lowongan di PTS lain yg butuh dosen tetap..tapi masih bingung, antara bertahan di PTS tempat saya ngajar skrg(karena saya alumni situ) atau cari lowongan dosen tetap di PTS lain, mohon pencerahannya…bu dosen
Waalaikumsalam. Sudah hampir 2 tahun berlalu saya baru membaca kmentar ini, mohon maaf. Untuk informasi beasiswa, banyak sekali Pak yang tidak mensyaratkan untuk berNIDN terutama di kampus-kampus luar negeri. Di Instagram seperti @schoters atau @kobieducation sering membahas mengenai beasiswa-beasiswa yang ada. Semangat Pak. Bagi saya, mencari lingkungan yang membuat saya berkembang dan ilmu saya bisa bermanfaat itu penting. Semoga yang terbaik untuk Bapak. Sukses selalu,.
Untuk detil perbedaan fasilitas/hak dosen ber NIDN dan NIDK bisa membaca link berikut ini:http://www.duniadosen.com/ini-perbedaan-serdos-nidn-dan-nidk/amp/