Semangat Tahun Ajaran Baru

Pfft, lama ya tidak mengisi artikel di blog ini selain cuma repost dari sosial media saya, seperti Path.  Bulan September memang luar biasa padat merayap dan masih dengan penyesuaian-penyesuaian suasana baru 😀 Proses belajar mengajar, kepanitiaan-kepanitiaan di kampus, penelitian, aktivitas grup riset cukup menyita banyak waktu. Namun tetap menyenangkan, hanya saja jadi tidak sering ngeblog saja disini 😀 Ini pun kalau gak dipaksa nulis juga gak nulis kali ya, memang yang benar harus bisa menyempatkan waktu kalau memang mau konsisten. Kalau tidak disini, berarti saya sedang repot  di blog sebelah. #ngelesaja 😀 Oh ya, happy islamic new year 1438H. Semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik ya. Aamiin.

Tak terasa sudah satu bulan berlalu semenjak tahun ajaran baru. Masih ingat pertama kali masuk kerja setelah cuti langsung dihadapkan pada alokasi mengajar 27 sks 9 kelas dan semua mata kuliah baru buat saya karena saya baru akan memiliki pengalaman mengajar mata kuliah-mata kuliah tersebut. Hectic sudah pasti. Karena selain menyiapkan proses pembelajaran yang serba baru, kali ini saya diahadapkan juga dengan peran baru sebagai seorang istri. Kerja seperti 24 jam sehari. Capek itu sudah pasti, jangan ditanya. 😀 Namun MasyaAllah, Allah telah menganugerahi kebahagiaan dalam menjalani ini semua, semangat yang terus mengalir, dan dukungan suami tiada henti membuat saya selalu bersyukur memiliki ini semua. Memang segala sesuatu yang sederhana kalau kita bisa menikmatinya, kita pun bisa memetik kebahagiaan dari sana. Syukur Alhamdulillah.

Kembali ke topik tahun ajaran baru. Tahun ajaran baru identik dengan datangnya mahasiswa baru dari penjuru daerah negeri ini untuk merantau dan secara berbondong-bondong menuntut ilmu. Mereka datang dengan sejuta harapan menuju satu pintu yang bernama LULUS, entah lulus lebih awal, tepat waktu, atau maksimal 7 tahun? Itu pilihan. Mereka dihadapkan pada sebuah pilihan dan proses berfikir, proses untuk mendewasakan diri dalam mengemban tanggung jawab. Yang namanya mahasiswa tidak pantas lagi disebut sebagai siswa, jadi kalau ada mahasiswa yang masih bersifat dan pola pikirnya seperti siswa, mungkin dia kurang adaptasi saja. Sensasinya merantau dan menapaki hidup yang sudah mulai menuju kedewasaan adalah memilih lingkungan dan teman bergaul. Penting? Penting banget ya sepertinya. Pepatah bilang “temanmu bergaul sekarang adalah potret masa depanmu”. Jadi memang lingkungan itu secara tidak langsung yang akan membentuk karakter dan pola pikir kita. Oleh karena itu, bergaul pun harus berhati-hati dan bijak dalam menyaring informasi. Yang jelas student life itu so wonderful. Jadi dinikmati saja, instead of complaining. 😉 Rasanya ingin sekolah lagi. InysAllah semoga dilancarkan untuk lanjut studi S3 nanti bersama suami. Aamiin.

Setiap semester adalah warna baru buat saya, dimana ada beberapa pos yang ingin saya isi dengan sesuatu yang berbeda. Entah itu aturan dalam kelas yang saya ajar, atau cara saya memberi penilaian, atau cara mengajar saya atau apapun itu, yang jelas saya tidak terlalu suka sesuatu yang monoton. Jadi saya sebenarnya agak bosen juga kalau dalam suatu kelas, mahasiswanya kurang aktif atau cenderung pendiam. Tugas saya juga sebagai dosen untuk membuat mereka menjadi sedikit lebih aktif sehingga suasana kelas tidak monoton dan membosankan. Tidak ada yang susah, saya tidak punya beban atau target apapun, hanya melakukkannya sesuai dengan passion yang saya miliki. Kalau sudah berusaha maksimal namun mahasiswanya tetap begitu yasudahlah, mungkin mereka sedang lelah 😀 Yang jelas apapun kalau dikerjakan secara maksimal tak ada yang sia-sia. Tetap ada perubahan, entah itu signifikan atau enggak.

Satu tahun pengalaman mengajar menjadi dosen(di 2 kampus berbeda dalam dua semester)  membuat saya cukup paham dengan pola para mahasiswa gen Z ini. Rata-rata adalah mahasiswa generasi instan yang sudah mulai malas membaca buku. Saya tidak bilang semua seperti itu, tapi mayoritas demikian. Tapi memang kalau biacara kualitas, mahasiswa dengan semangat tinggi belajar usahanya akan beda dengan mahasiswa yang biasa saja usahanya. Sudah jelas terlihat nanti. Nilai akan bicara, karena selama ini proses mereka yang saya nilai. Masalah mahasiswa itu bermacam-macam dan akan selalu ada solusinya. Selama interaksi antara dosen dan mahasiswa itu kondusif sebenarnya keduanya bisa saling mengisi dan sukses dalam proses belajar mengajar. Setidaknya itu yang saya pelajari semenjak saya studi S2 di ITS dan di WUT Polandia.

Cita-cita menjadi dosen bukan cita-cita yang ujug-ujug, saya sudah menyiapkannya semenjak tahun ke-3 saat S1. Berapa IPK yang harus saya miliki saat lulus? Setelah ujian skripsi saya mau ngapain? (biasanya kan mulai nganggur tuh, cuma saya tidak suka kalau terlalu lama tidak produktif, jadi benar-benar menyiapkan what should to do for the next). Yang jelas saya harus lanjut S2 saat itu, karena setelah saya lulus S1, peraturan untuk jadi dosen harus lulusan S2. Masih jaman-jaman  sekitar tahun 2011-2012 berjuang memperoleh beasiswa dan mencari sekolah disana sini. Sempat memasukkan aplikasi ke Korea kalau gak salah waktu itu, karena menawarkan beasiswa juga secara full, namun kalau belum rejeki, Allah tidak akan mengijinkan juga. 😀 Sengaja untuk S2 saya mencari beasiswa yang benar-benar full funding bukan partial. Ya saat itu itu keinginan dan target yang harus saya penuhi. Cari info kesana kemari akhirnya saya mendapatkan informasi tentang beasiswa calon dosen DIKTI. Beasiswa Unggulan saat itu namanya (sekarang BPPDN). Dulu belum ada LPDP yang konon katanya pencairan beasiswanya lebih tepat waktu daripada DIKTI #eh 😀 Saya kepingin S2 keluar negeri saat itu, namun saya harus menyiapkan at least 1 tahun untuk mempersiapkan bahasa inggris, dokumen, nyari sekolah yang sesuai belum tentu ketrima juga. Nah. Dan pas ortu juga kurang sreg saya melancong terlalu jauh saat itu, akhirnya saya mengambil peluang yang di depan mata.

Saya pikir dulu sekolah S2 itu enak saja sih tinggal masuk tanpa tes bisa langsung, ternyata saat itu harus menghadapi kenyataan bahwa pendaftar S2 Teknik Informatika ITS mencapai 200an, dan termasuk angka yang paling besar dari seluruh fakultas yang ada di ITS, diambil cuma 50-60 dari berbagai jalur (beasiswa calon dosen, beasiswa dosen, biaya mandiri, dll) kalau tidak salah ingat. Berarti memang harus lolos tes ini sebelum mendaftar beasiswa. Berdasarkan pengalaman penerima Beasiswa Unggulan tahun 2011, katanya kalau sudah lolos tes universitas biasanya proses beasiswanya lancar. Meskipun pada kenyataannya ada rekan saya yang tidak lolos beasiswa calon dosen meski sudah diterima di ITS. Bismillah, saat itu wes modal nekat sajalah, belajar seadanya. Sebagian besar pertanyaan bisa saya kerjakan, kecuali yang ada hubungannya sama jaringan dan sistem operasi XD Syukur alhamdulillah saat itu saya lolos, dan alhamdulillah juga beasiswa calon dosen DIKTI. Beasiswa penuh yang meliputi uang saku, SPP gratis, tunjangan buku, tunjangan penelitian, uang akomodasi. Syukur alhamdulillah. Sehingga saya selalu bertekat untuk belajar sebaik-baiknya karena uang yang saya gunakan untuk kuliah ini adalah uang rakyat.

Terlibat pada beberapa kegiatan dan penelitian dosen membuat saya bersemangat untuk menyelesaikan kuliah dalam 2 tahun pas. Tidak kurang dan tidak lebih. Karena saya ingin mendapat pengalaman yang cukup pada masa studi S2 saya, sehingga saya tidak terlalu ingin cepat selesai. Alhamdulillah pas 2 tahun selesai dan mendapat beasiswa exchange Erasmus Mundus ke Polandia selama satu tahun dengan beasiswa full juga. Syukur alhamdulillah. Jadi pingin segera sekolah lagi deh kalau cerita seperti ini. 😀

Wah jadi panjang banget curcolnya. Yasudah intinya tetap selalu semangat dan jangan lupa bahagia ya semuanya 😀 Semoga Allah meridloi apa yang kita kerjakan, semoga bermanfaat bagi sesama dan berkah bagi kita semua. Aamiin. See you pada postingan berikutnya 😉

@Malang, tahun baru Islam 1438H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *