Tidak terbesit keinginan sedikitpun bermimpi, meskipun hanya untuk masuk ke dalam proses rekruitmen oleh Google. Entah kenapa kemudian saya mendapatkan pesan dari seorang technical recruiter Google di akun LinkedIn saya untuk mencoba proses seleksi yang ditawarkan oleh Google. Posisi yang ditawarkan saat itu adalah software engineer.
Cerita dahulu deh ya, pesan pertama dari mbak yang memiliki posisi technical recruiter di Google itu dikirimkan tanggal 26 Januari 2015. Kebetulan saya biasa buka LinkedIn itu seminggu sekali, terkadang pas kalau nganggur aja. Akhirnya pesan pertama itu pun tak terbaca oleh saya dan otomatis tidak saya baca, sehingga saya dikirimin pesan lagi 10 hari kemudian kurang lebih disuruh membaca pesan yang sebelumnya, dan apa tertarik untuk ikut proses seleksinya. Intinya tawaran bekerja di Google nantinya jika lolos seleksi, setelah lulus dari Warsaw Univeristy of Technology (WUT), Polandia. Intinya itu. Parahnya pesan yang dikirimkan setelah 10 hari itu pun, masih belum terbaca oleh saya, ya saya belum membuka akun LinkedIn saya sama sekali karena tight schedule UAS dan liburan. Saya baru membaca pesan itu sekitar 10 hari setelah tanggal 6 Februari 2015, kalau ditotal setelah 20 hari technical recruiter mengirim pesan pertama, saya baru membacanya dan belum juga langsung saya balas 😀
Kenapa kok belum dibalas? Saya masih ragu karena mendapat pesan itu, pertama apakah memang benar dari Google, kalaupun benar kok ya Google sampai nyari orang, bukannya banyak orang yang pengen banget masuk Google? Dan kalaupun benar dari Google, kok ya saya yang masih cupu dan hanya butiran debu ini? #halah. Itu pertanyaan fundamental saya sebelumnya. Sisi yang lain yang saya rasakan adalah hati ini kurang ‘klik’ dengan posisi yang ditawarkan dan bekerja di sebuah perusahaan memang bukan cita-cita mutlak saya. Saat lulus S1 pun, saya tidak ngejer nyari kerja di perusahaan, melainkan nyari beasiswa buat sekolah lagi karena cita-cita saya jadi tenaga pendidik, cita-cita lama saya. Pernah waktu itu punya pengalaman jadi pegawai remote posisi programmer full time di salah satu perusahaan di Amerika, namun hanya sebentar 3 bulan. Karena full time, saya memilih resign karena saya keteteran untuk mengatur waktu fokus persiapan lanjut studi. Ya, benar hidup itu pilihan, perjuangan dan pengorbanan 😀
Saya pun kemudian berbagi kabar dengan kawan-kawan terdekat untuk memberi pertimbangan atas pesan cetar dari mbak recruiter, dan semuanya satu suara, menyuruh saya untuk menjalani dulu proses seleksinya. Saat seperti ini saya baru menyadari bahwa menumbuhkan passion yang sebelumnya kurang ‘klik’ itu tidak mudah. Akhirnya saya menemukan satu kalimat pusaka yang membuat saya mantap untuk membalas pesan cetar itu. Mengutip “Not everyone wants to work for Google, but there are valuable side effects to a Google interview”, dan kemudian jadilah saya nyemplung dalam proses seleksi-nya mbah Google. Dan memang kutipan tersebut sangat benar, valuable side effects nya terasa, karena membuat saya jadi belajar lagi dan mempelajari lagi apa yang sempat saya lewatkan sewaktu belajar di S1 dahulu.
Ada hal confidential yang tidak bisa dibagikan informasinya, karena terikat aturan. Namun secara umum saya akan berbagi pengalaman saya, meskipun saya gagal, semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang benar-benar punya keinginan dan cita-cita untuk masuk giant company, such as Google. Saya pikir tak ada salahnya berbagi dan semoga saya tidak menyalahi aturan, karena sebelum menghadirkan postingan ini juga ternyata ada beberapa orang yang sharing pengalamannya ketika menjalani interview bersama Google.
Inilah tahapan yang saya lalui, sebenarnya ada proses seleksi yang sangat panjang untuk menuju hiring, saya berhenti di proses screen interview. Setelah proses screen interview ada on site interview, ya itu andai saja saya lolos saat itu. Dalam on site interview itu pun masih terbagi dalam beberapa proses interview lagi. Setelah lolos dalam proses on site interview Anda akan diantarkan untuk menjalani proses hiring dsb. Google akan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya apa yang seharusnya dipersiapkan dan dijalankan, beserta alur-alurnya. Intinya tidak ada yang tidak jelas, semuanya tidak membingungkan, asal petunjuknya tak terlewatkan untuk dibaca.
Balas Pesan di Email dan disuruh mengirim CV
Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya tidak pernah sekalipun mengirim aplikasi ke Google, dan ada pesan masuk dari Google apakah bersedia menjalani proses seleksi. Ketika dijawab “iya” proses selanjutnya saya disuruh mengirimkan CV. Dari membuat CV ini pun saya belajar banyak. Entah berapa sumber yang sudah saya baca terkait membuat CV untuk daftar kerja di Google, saya menemukan referensi yang menyatakan bahwa hampir ribuan CV yang diterima Google setiap minggunya, dan tidak sedikit yang ditolak CVnya. Yang jelas CV yang saya buat kali ini, berbeda dengan CV yang saya buat sebelumnya (terakhir membuat CV untuk mendaftar beasiswa ke Eropa sini dengan aplikasi yang telah seragam, yaitu Europass). Google menggunakan mesin untuk menyeleksi resume-resume itu, sehingga resume yang sifatnya plain text lebih baik dan mudah dibaca oleh mesin. Saya menggunakan bantuan dari Google Resume Builder dengan sedikit editing sana sini biar kelihatan lebih Google (Hanya untuk diketahui Google mencari orang kreatif juga, salah satu contoh salah satu CV yang langsung bisa masuk interview Google bisa dilihat disini ). Saya juga baca kalau buat CV itu yang lebih baik sekiranya tidak banyak kalimat-kalimat panjang dalam satu paragraf, namun lebih kepada poin-poin saja (sumber bisa dibaca disini). Seminggu setelah berkata iya, saya tidak langsung mengirimkan CV karena masih baca sana sini itu, hingga ada panggilan lagi untuk segera mem-follow up pesan terakhir untuk mengirimkan CV. Akhirnya cling, jadi deh saya kirim. Sebenarnya untuk kasusk saya ini, CV adalah formalitas saja sepertinya, karena nampaknya tak ada seleksi dokumen lagi untuk saya, tapi saya pikir tidak ada salahnya belajar. Lagi-lagi dapat ilmu baru, the things that I often interested in.
Phone Interview (Tahap I)
Sebenarnya ini interview hore-hore saja, sekedar diketahui interview dengan Google itu tidak bikin tegang, inteviewer sepertinya sudah cakap membaca kita dan membuat kita lebih nyaman seperti bicara antar teman. Nothing to be prepared, hanya butuh menyediakan waktu luang sesuai jadwal yang telah disepakati, dan kita bisa memilih jadwal sesuai slot yang disediakan. Pada phone interview ini saya ngobrol dengan technical recruiter saya selama 30 menit, menggunakan Google hangout lah ya 😀 . Dan dia mengajukan beberapa pertanyaan, termasuk penjelasan tentang alur kerja di Google. Saya lupa aja detail yang ditanyakan, seingat saya, dia menanyakan seputar pengalaman saya apakah sesuai dengan yang di offer oleh Google.
Dan tetiba ada satu pertanyaan yang langsung membuat saya sakit kepala dan terdiam seribu bahasa. Apa itu? tentang kompleksitas algoritma, berasa langsung kelempar mata kuliah Algoritma dan Struktur Data 7 tahun yang lalu, dan saya tidak bisa mengingat sama sekali worst case untuk algoritma X itu apa. Di titik ini pun akhirnya belajar lagi apa dan bagaimana menghitung kompleksitas algoritma, karena saat S1 dahulu saya sebenarnya juga masih tidak mudeng bagaimana menghitungnya. Kemudian saya merasakan bahwa hal ini sangat fundamental untuk seorang software engineer. Jika ada orang lain yang bilang kuliah itu hanya sepersekian persen dari kerjaan, dan kemudian mengabaikannya, coba dipikir ulang untuk masuk Google, karena dasar Algoritma dan Struktur Data yang dia butuhkan cukup kuat, selain kemampuan programming tentunya. Disini saya pun jadi tersadar seolah-olah saya harus belajar dan membuka materi yang cukup lama sudah saya tidak buka kembali.
Setelah itu juga ditanya tentang pengalaman menggunakan bahasa pemrograman apa yang paling saya kuasai, antara Java atau C katanya. Yang jelas saya bilang kalau Java, meskipun selama S2 saya lebih banyak menggunakan Matlab, dan sudah tidak cukup cekatan dan express menyelesaikan permasalahan menggunakan Java, at least fungsi dasar yang ada di Java dapat saya pahami dengan cukup baik, dibandingkan bahasa pemrogramman lain yang di offer Google. Mereka prefer menggunakan kedua bahasa tersebut (Java atau C) dan sesekali Pyhthon untuk beberapa project tertentu yang ada di Google katanya.
Pertanyaan juga terkait apakah saya sedang terikat kontrak kerja saat ini. Ya, saya bilang bahwa saya punya tanggungan untuk mengabdi 3 tahun di negara Indonesia tercinta selepas masa studi (meski belum tahu juga mau mengabdi dimana), karena sudah memakai beasiswa BPPDN Dikti. Dari percakapan tersebut si mbak sepertinya lebih memahami bahwa ketertarikan saya lebih di dunia akademis. Hanya saja saya bilang, saya akan mempertimbangkan kembali jika lolos seleksi, saya akan mencoba melalui tahap-tahap seleksi yang diberikan oleh Google. Kapan lagi, ya to? Ketika Google memanggilmu, ibarat sayang kalau melepas kesempatan untuk sekedar menjalani proses seleksinya, setidaknya wes tau nyemplung dan merasakan sendiri, meski tak berujung dengan kesuksesan untuk berkerja di Google
Ketika ditanya mau memilih area seleksi software engineer untuk kantor Google cabang mana, saya bingung jawabnya, karena sebenarnya saya tidak tahu saya emang cocok gak sih ikut seleksi ini. Karena saya tidak tahu mau dimasukkan daftar seleksi di kantor Google cabang mana, akhirnya si technical recruiter bilang bahwa ada kantor software engineer Google yang letaknya di Munich, Jerman, sehingga dimasukkan saya ke dalam daftar kandidat di kantor Google tersebut. Alasannya karena Jerman lebih dekat dengan Polandia. Setelah perbincangan selama kurang lebih 30 menit, si technical recruiter memberi email saya kembali untuk saya balas.
Tak lama kemudian, si technical recruiter saya yang sebelumnya bilang bahwa interview akan berlanjut ke tahap phone screen interview, dimana saya akan berhadapan langsung dengan salah satu software engineer Google. Alamak! Ternyata tidak mudah menerima kenyataan bahwa saya harus belajar lagi dalam waktu yang cukup singkat, belajar Algoritma dan Struktur Data Dasar. Kemudian saya dioper ke recruiter yang ada di Google Munich untuk menentukan jadwal yang sesuai dan disepakati bersama.
Phone Screen Interview (Tahap II)
Saya bisa bilang ini sih proses live coding, seperti kembali ke masa-masa ujian skripsi S1 di Ilmu Komputer Univesitas Brawijaya dulu. Tidak banyak persiapan menuju interview di tahap ini, mengingat saya harus merefresh banyak hal dalam waktu yang cukup singkat, di sela-sela kegiatan kuliah, dan juga weekend yang tidak sepenuhnya weekend. Namun lagi-lagi saya bisa sedikit ngobrol langsung dengan salah satu software engineer Google yang berlokasi di kantor Munich, Jerman itu membuat saya cukup excited. Seperti apasih mereka? rasanya seperti apa sih ngobrol sama mereka? Buku bacaan yang bisa dipersiapkan sebelum menempuh interview kali ini adalah.
- Introduction to Algorithms (Thomas H. dkk)
- Cracking the Coding Interview (Gayle Laakmann McDowell )
Dua buku itu yang saya ubek-ubek meski tidak semuanya, dan sesekali saya belajar koding di LeetCode. Karena sekedar diketahui bahwa proses ngoding dilakukan di Google Docs, manual, debuging dan testingnya, tanpa IDE sama sekali. Proses interview berjalan 45 menit, dimana kita diberi sebuah kasus, kasusnya tidak cukup jelas diawal (memang sengaja demikian), jadi memang kasus itu dibuat untuk didiskusikan bersama bagaimana cara menyelesaikannya. Menurut yang saya baca, Google tidak hanya mencari orang yang ahli di bidangnya, tapi juga orang yang kreatif dan memiliki interpersonal skill yang bagus.
Tidak seperti yang saya baca di buku ataupun pengalaman orang lain, interviewer saya di tahap ini tidak cukup basa basi. Pertama kali hanya tanya kabar, terus langsung pertanyaan. Well, pertama kali mendengar pertanyaan yang diberikan, otak sudah berpikir keras, dan beberapa pertanyaan saya ajukan, terkait hal-hal yang masih ambigu di pikiran saya, hanya untuk menyelaraskan bahwa maksudnya itu sudah seperti apa yang saya pikir. Saya tidak bisa cerita ya soalnya seperti apa, ini rahasia, bukan karena saya tidak mau berbagi, tetapi karena memang Google yang bilang demikian, sifatnya confidential. Seperti yang saya bilang sebelumnya, yang jelas mereka ngasih petunjuk dan bahan yang cukup jelas, jadi tak perlu khawatir. Kita tentu saja tidak bisa menebak soal yang diberikan seperti apa (ya iyalah 😀 ) Saya hanya membuat sedikit fungsi dengan kasus yang diberikan dan belum berhasil menyelesaikan permasalahan dalam 45 menit, rasanya saat itu jarum jam berputar sangat cepat.
Dalam proses tersebut interviewer tidak hanya tinggal diam menjadi penonton, tapi berasa seperti partner, dimana kalau ada fungsi yang sekiranya salah, dia juga menahan kita untuk tidak melanjutkan, artinya, ada yang harus kita benahi dalam fungsi tersebut. Ini kebiasaan kalau pakek IDE pas gak pakek IDE belepotan dah, jadi banyak-banyak latihan di blank notes atau white board itu sangat penting sekali. Terakhir saya kurang puas karena tidak bisa menyelesaikan soal dalam waktu kurang dari 45 menit. Karena belum selesai itu, saya sudah berfikir pasti tidak lolos tahap berikutnya.
Berhenti di Tahap II
Beberapa hari setelah proses phone screen interview itu saya mendapat email dari technical recruiter pertama saya, dan mengabari bahwa saya tidak bisa melanjutkan tahap berikutnya, sama seperti dugaan saya sebelumnya. Namun, Google masih membuka kesempatan untuk mencoba lagi tahun depan, dan memberi kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi. Sewaktu-waktu saya butuh dan pengen mencoba lagi mbak recruiter-nya siap membantu.
Kemudian email pun saya balas, intinya tidak masalah buat saya gagal di tahap ini, karena dengan keterlibatan saya nyemplung dalam proses interview bersama Google. Google telah memberi saya kesempatan belajar lebih banyak, dan mempelajari apa yang terlewatkan untuk saya pelajari. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih untuk Google atas waktu yang luar biasa.
Konklusi
Pada akhirnya, jalan saya untuk mengabdi kembali ke Indonesia adalah keputusan yang terbaik saat ini, seperti cita-cita saya dahulu (meski belum punya homebase juga sih) 😀 Saya menyadari bahwa mungkin Google belum yang terbaik untuk saya saat ini, tapi mungkin Google suatu saat nanti menjadi kesempatan yang terbaik buat calon mahasiswa saya. Atau menjadi kesempatan yang terbaik buat orang-orang yang memiliki high passion untuk masuk ke salah satu perusahaan raksaa dunia, Google. Saya akan senang sekali tulisan ini cukup bermanfaat bagi rekan-rekan yang sedang atau akan masuk ke Google sebagai software engineer.
Salam semangat selalu ya!
Musim semi, Warsawa, Polandia 🙂
Pingback: Dua hari setelah 1 Januari |
Mkasih mbak atas postingannya….sangat membantu untuk memotivasi saya bisa kerja di Google.
Sekedar mau nanya,kan saya masih mahasiswa teknik mekatronika unpar semester 2 kalau mau kerja di Google apakah setelah saya lulus bisa melamar di sana tanpa pengalaman sedikit pun?
Terima kasih
Sama-sama Cedric 🙂
Kurang tahu ya Cedric, Google terkadang tak terduga. Yang paling penting Cedric banyak belajar dulu mumpungmasih muda, dan mulai membuat pengalaman-pengalaman. Ikut kuliah tambahan seperti di coursera, atau semacamnya misalnya kalau merasa kurang. Semoga sukses Cedric, dan impian Cedric untuk bekerja di Google bisa terwujud. 🙂
Wah mantep, saya suka postingannya, padahal tahun 2015 wkwk. Btw sekarang bagaimana min mengikuti jejak akademisnya? Saya masih muda banget, 17 tahun hehe. Punya saran kah untuk saya yang masih muda ini?
Follow your passion saja. Nanti seiring berjalannya waktu, bisa beradaptasi apa yang sekiranya diinginkan dan dibutuhkan. Kalau misalnua sudah benar-benar punya plan yang baik itu bagus, jadi bisa memetakan nanti kuliah ambil jurusan apa, kuliah targetnya apa saja. Seperti itu. Yang jelas, jangan sia-siakan masa muda, karena masa muda (terutama jika belum menikah) itu adalah kesempatan untuk mengembangkan diri secara maksimal. Sukses ya, Surya 🙂
Siap, terima kasih bu.
Pingback: Sudah Ngapain Aja di Usia 25 Tahun? | Selamat Datang…