Sebelum menikah, saya termasuk golongan wanita yang selalu mengakui tidak bisa memasak. Dari kecil hingga SMA (sebelum merantau) bisa dibilang saya hanya asisten ibu saya di dapur. Itu pun jika diperlukan. Kemudian merantau ke Malang S1, ndilalah saya dapat kos yang dapur bersih, artinya dapur tidak boleh digunakan masak besar. Ya mentok bikin makanan nasional anak kos “Indomie”, selebihnya aturan kos tidak mengijinkan. Memang kosnya bersih dan ada orang sendiri yang membersihkan kosan. Betah sih ya di kosan dulu di KS3 yang cuma 12 kamar, masing-masing kamar 1 orang. Oke, sampai sini saya tak begitu explore itu bagaimana memasak. Dalam pikiran saya saat itu makan beli lebih murah daripada masak, apalagi belum waktu dan tenaganya yang bisa saya alokasikan lebih untuk aktivitas di kampus. Apalagi dulu di daerah kerto makan 5K-7K sudah lengkap dan enak. Tambah tidak tertarik memasak lagi rasanya.
Menginjak S2, kosan saya yang di Perumdos ITS saat itu dapur kosan bisa digunakan untuk memasak. Awal-awal masih semangat memasak yang sederhana saja, karena ingin belajar sedikit-sedikit. Lama-lama rasa malas menerpa karena harus naik turun tangga (kamar saya di lanati 2) untuk memasak dan dapurnya tidak dilengkapi wastafel, jadi kalau mau cuci-cuci harus angkat ke tempat cucian -yang berjarak 2 kamar mandi- kemudian merapikan alatnya lagi di bawa ke kamar atas. Saya ternyata tidak setelaten itu sodara-sodara. Ditambah kegiatan saya yang lumayan tugasnya saat S2 serta ikut project dosen dan lagi-lagi dapat beasiswa yang lumayan untuk tunjangan hidup, saya putuskan untuk membeli makanan saja. Karena waktu yang dikerluarkan untuk memasak dan printilannya memakan waktu yang cukup lumayan untuk ngoding atau baca-baca jurnal. Lagi pula, saya juga sudah memikirkan kalau masak untuk 1 orang rasa-rasanya biayanya yang dikeluarkan sama saja jatuhnya. Dalam tahap ini, saya masih mempertimbangkan menghemat waktu dan tenaga untuk memasak. Tiap orang punya pandangan terkait ‘hemat’ ini.
Perubahan besar terjadi saat saya exchange ke Polandia selama 10 bulan itu. Negara yang susah sekali mencari makanan halal jelas jauh dibandingkan Indonesia. Pengalaman ke Eropa membawa saya ke perubahan banyak hal yang lebih baik, salah satunya dalam kemampuan memasak ini. Saya masih ingat betul saat mencoba memasak pertama kali, ingin mencoba sup makaroni, namun saya salah bumbu atau bagaimana, rasanya bikin saya mual sehingga terpaksa tidak saya habiskan masakan saya sendiri itu. Walhasil makan seadanya, makanan kering yang bawa dari Indonesia. Di Polandia ini saya mulai belajar belanja sayur yang dibutuhkan, seberapa banyak harus membelinya, bisa digunakan untuk berapa porsi, bumbu apa saja yang harus dimasukkan. Bukan tanpa drama pada awalnya, hingga pada akhirnya saya bisa belajar mix and match bumbu versi saya dengan citra rasa lidah saya yang Jawa tulen ini. Beberapa karya saya memasak saat di Polandia bisa di baca di tautan berikut. Itu versi masak saya menggunakan rice cooker . Pada dasarnya saya memasak makanan Indo, karena itulah yang membuat saya lahap makan. Ternyata dalam keadaan terjepit yang mengharuskan saya memasak akhirnya bisa masak juga. Lebih-lebih saat saya menjamu tamu teman Indonesia yang menginap di dorm saya, saya mencoba memasak yang bagaimana agar cucok meong dengan lidah mereka. Alhamdulillah habis. 🙂 Tapi masih masak yang receh sekali :))
Saat menikah, semuanya berubah. Ibu mertua pandai sekali memasak yang tentunya jangan dibandingkan dengan menantunya ini ya 😀 Jadi yo belajarlah memasak ya.. dan suami saya adalah seorang anak yang terbiasa dengan makanan rumahan, meski apa aja sebenarnya doi juga doyan-doyan saja sih. Suami juga pernah mengalami jadi anak rantau, 2 tahun saat kuliah di Swedia dia juga memasak sendiri. Jadi saya pikir, dengan pengalaman yang dia miliki, bisa mem-backup saya ketika saya pas berhalangan memasak di rumah. Hihi. Pertimbangan juga, karena sudah mengawali janji suci dalam satu atap dan menurut perhitungan ekonomi yang kami pertimbangkan, memasak sendiri jauh lebih murah daripada membeli. Kalaupun mendesak, terkadang kami juga membeli, jadi tidak rigid harus memasak terus, namun memang prioritas kami memasak sendiri di rumah. Selain lebih sehat, porsi dan rasa bisa kami atur sesuai selera kami. Suami tak segan turun ke dapur membantu saya memasak atau kadang kalau saya lagi sakit dia sigap memasakkan makanan sehat untuk saya, paling mentok suami tanya bumbunya apa, airnya segini kurang atau tidak dan seterusnya. Memasak dengan penuh cinta memang beda rasanya. Bahkan kami punya salah satu master piece makanan yang dimasak oleh kami berdua, kalau dimasak salah satu dari kami pasti ada yang kurang, kalau dimasak berdua rasanya bisa mengalahkan rasa makanan favorit tertentu yang pernah kami beli. *mohon maaf kalau bagian yang ini lebay ya pemirsaaa, memang begini adanya.. :)))
Oleh karena itu, membawa bekal makan siang ke kantor dari rumah selalu kami usahakan. Dalam seminggu kami usahakan ada bekal yang dimasak dari rumah. Ini sangat tergantung dari waktu juga sebenarnya, waktu yang kami miliki untuk berangkat kerja. Terkadang waktunya sangat mepet kalau kita berangkat kantor lebih pagi. Akhirnya, biasanya kami memutuskan makan malam di rumah dan memasak, sementara makanan siangnya beli (dan diusahakan ada sayur). Entahlah, sejak menikah, saya agak bosan kalau misalnya menu pagi, siang, dan malam sama. Jadi, sudah terbiasa dengan menu yang berbeda setiap kali memasak, atau minimal 2 menu dalam sehari. Agak jarang 1 menu untuk seharian.
Saya menyadari ternyata memasak itu seperti belajar bahasa, tak perlu dipelajari secara khusus, secara alamiah kemampuan itu akan muncul seiring berjalannya waktu. Seiring pengalaman yang diciptakan, beberapa inovasi yang dikembangkan juga memudahkan dalam memasak. Alhamdulilah, suami tipe yang mana selalu memasak makanan saya, enak atau tak enak. Apapun itu, cita-cita seorang istri pastinya mengusahakan yang terbaik untuk suaminya, InsyaAllah pun beliaunya demikian juga. Jadi buat para calon istri di luar sana atau para jombs yang belum bisa memasak jangan khawatir ya, semua ada masanya kok ya, yang penting ada niat pasti bisa InsyaAllah. Semangat <3
Oke deh sekian tentang curhat memasaknya, lain waktu di sambung. See you!
@Malang, selepas hujan malam minggu di rumah
hihi samaa mbak, dulu di ITS ga pernah masak, di Taiwan mulai bisa masak sampe sekarang juga bagi-bagi sama suami kalau masak, alhamdulillah indahnya menikah hihi #lohkok
alhamdulillah mbak Dini, maaf baru lihat lagi blog. Ini wes 2 bulan vakum 😀 Semoga berkah terus ya mbak pernikahannya, membawa nikmat dunia akhirat InsyaAllah <3