Another Volunteer Job: Reviewer Paper atau Jurnal Ilmiah

Tetiba pengen ngeblog di akhir April 2018 ini, kali ini mengambil topik tentang menjadi reviewer paper atau jurnal ilmiah. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang mayoritas dikerjakan volunteer di bidang perpublikasian ilmiah. Sejak 2016 saya menerima banyak tawaran untuk menjadi reviewer. Terakhir saya dihubungi oleh salah satu editor jurnal internasional Q3 terindeks Springer dan Scopus untuk memberikan review terhadap paper yang masuk dengan linearitas penelitian yang sama dengan track record saya sebelumnya. Saya tidak menyangka bahwa ada yang meminta request tersebut untuk sekelas jurnal Q3, sementara submit ke sana pun belum pernah. Hal semacam yang tidak disangka-sangka seperti ini selalu hadir saat saya mulai agak kendor untuk menulis jurnal dan memasukkannya ke jurnal bereputasi. Anggap saja ini tamparan yang mendidik saya bahwasanya teruslah meneliti dan bermanfaat untuk orang lain, meski terkadang kita merasa nothing. Baik menjadi penulis maupun reviewer adalah ladang amal sesama manusia untuk saling berbagi tentang apa yang kita tahu berdasarkan keilmuan yang kita miliki.

Seorang dosen senior yang merupakan rekan sejawat pernah Continue reading

Sedikit Banyak Direncanakan

Alhamdulillah wasyukurillah, bulan April 2018. Saya rasa bulan Maret seperti mampir saja, tak terasa waktu cepat sekali berjalan. Benar kata dari seseorang bahwa kalau ada yang lebih berharga daripada uang, itu adalah waktu. Dengan waktu kita bisa mengubah apa saja sesuai dengan apa yang kita kerjakan di rentang waktu tersebut dan uang mengikuti saja dari apa yang kita kerjakan. Uang tak perlu dikejar, yang kita kejar adalah keridhaanNya, sehingga apa yang kita lakukan berkah dan manfaat bagi banyak orang. Sebuah motivasi yang pernah saya baca dari sebuah buku. Motivasi yang terkadang membuat saya berfikir, kalau misalnya kita memiliki banyak rejeki, tentunya akan menghasilkan manfaat yang lebih luas, dan bisa saja salah satu rejeki itu bentuknya adalah uang. Tapi dengan uang yang kita dapatkan Tuhan tidak ridha, berarti ada yang kurang tepat jalan kita mencarinya atau bukan sesuatu yang terbaik untuk kita? Mungkin. Wallahu A’lam.

Bicara mengusakan yang terbaik, ada kalanya hal tersebut berbanding lurus dengan rencana yang kita susun. Dari dulu saya sudah terbiasa menyusun rencana, meski buanyaaak sekali Continue reading

Perjalanan Mengurus Perpanjangan Paspor (Tanpa Calo)

Alhamdulillah, akhirnya selesai juga proses mengurus (perpanjangan) passpor yang cukup memakan waktu. Oke, saya akan cerita dari awal ya, juga sebagai janji saya kepada beberapa teman yang menanyakan proses penggantian atau perpanjangan paspor dengan menuliskannya ke dalam blog ini. Saya akan coba membagi pengalaman saya pribadi yang mana dalam mengurus perpanjangan paspor saya yang pertama kalinya, telah menyinggahi dua kantor imigrasi, yaitu kantor imigrasi kota Malang dan kantor imigrasi kelas 1 khusus Surabaya.

Antrian Online

Oke, jadi pada jaman now,  antrian di kantor imigrasi (semua kota) harus online. Antrian offline hanya diperuntukkan bagi lansia di atas 65 tahun. Informasi ini saya dapatkan saat di Kantor Imigrasi Malang. Kalian bisa download dan kemudian register melalui aplikasi ini atau cari informasinya di sini. Jadi sebelum nawaitu berangkat untuk ngurus paspor, sebaiknya antri online dulu. Dulu waktu pertama kali saya buat paspor juga online, karena online memang antriannya berbeda, lebih cepat biasanya. Tapi karena sekarang semua online, saya rasa tak jauh berbeda. Sama-sama antri, namun enaknya jelas, karena kita bisa datang tidak terlalu pagi. Minimal 30 menit sebelum jadwal sudah ada di TKP.

Kuota Antrian di Kantor Imigrasi Malang habis

Tertanggal 13 Februari 2018 Continue reading

That’s Why I Love Writing

Apa sih menariknya punya hobi nulis? Namanya juga hobi, hobi kan memang sesuatu yang kita sukai meski orang mengatakan membosankan. 😀 Beberapa waktu lalu, sempat membaca artikel bagus dari mbak Astria Hijriani, tentang menulis, jadi ingin menulis terkait menulis juga. 😀 #recursive  Bahwa sebenarnya menulis itu merekam jejak kita selama hidup di dunia. Motivasi saya saat menulis adalah bisa bermanfaat ataupun bisa menjadi pengingat diri sendiri, syukur alhamdulillah lagi jika tulisan tersebut bermanfaat untuk cakup yang lebih luas. 🙂 <3 Jadi masih terus belajar sampai saat ini, bagaimana membuat konten yang bermanfaat dengan minimal mengambil hikmah dari yang saya alami sendiri.

Menulis saat santai, ide bisa dari mana saja

Menulis yang paling menyenangkan adalah tanpa tekanan, Continue reading

Milestone Penelitian Up to 2017

Postingan kali ini mungkin agak sedikit berbeda, karena saya ingin mencatat sejarah penelitian saya per tahunnya. Mungkin bisa jadi kenang-kenangan saya suatu saat nanti. Semoga istiqomah merangkum perjalanan tersebut tiap tahunnya. Selain bisa menjadi penyemangat, juga menjadi pengingat diri sendiri kalau sudah mulai loyo nulis ataupun loyo research. Meskipun kemungkinan loyo research kecil, karena tuntutan setiap saat (minimal 2 kali dalam setahun), tapi yang namanya manusia ya bisa saja not on the right track. Well, syukur-syukur alhamdulillah kalau postingan ini juga membantu teman-teman dosen muda yang masih di berada ‘di bawah’ untuk tetap semangat menulis. Karena kalau kita sudah jatuh cinta, menulis akan menjadi kebutuhan #halah 😀

Berhubung ini blog pribadi jadi meskipun topiknya semacam formal, tetap ya bahasanya kita buat fleksibel saja. 😀 Well,  2013 saya mulai menyukai lebih dalam terkait riset, saat itu masih tercatat sebagai mahasiswa S2 ITS semester 2. Saya ikut proyek dosen untuk penelitian terkait peningkatan produktivitas gula nasional. Di samping itu ‘gemblengan’ di ITS benar-benar bikin kita lumayan kliyengan saat masuk pertama kali. Pada semester pertama, kita sudah disuguhi bahan untuk mengulas paper-paper. Yep, hampir setiap waktu obrolan kita ide penelitian, metode, most of them related to research topic or interest. Dulu gak pernah kebayang sampai bisa tenggelam dan menyukai dunia penelitian. Thanks to all my supervisors and lecturers saat saya S2 di ITS dulu. Kalaupun sampai saat ini tulisan saya sudah terpampang di beberapa jurnal dan konferensi internasional pun prosiding dan jurnal nasional, itu karena bimbingan beliau-beliau dahulu. Amal jariyah buat beliau-beliau kelak, dan semoga saya bisa juga memberikan sedikit ilmu yang saya punya untuk mahasiswa-mahasiswa saya juga nantinya. Aamiin. *serius 🙂

ResearchGate

Saya buat ResearchGate ini semenjak Continue reading

Siapa Kita

Alhamdulillah, pada akhirnya menginjak juga tahun baru 2018. Alhamdulillah, tahun 2017 telah terlewati dengan segenap pencapaian yang  telah terwujud maupun belum terwujud karena kebaikanNya. Biarkan skenarioNya berjalan dengan kita mengoptimalkan segala sesuatunya untuk menggapai apa yang belum terwujud. Ada kesibukan awal tahun sangat padat dilakukan dalam satu minggu belakangan, baik urusan kantor ataupun urusan di rumah, yang membuat saya menunda untuk membuat satu artikel yang telah saya targetkan sebelumnya  (targetnya sih pas malam tahun baru, tapi yo weslah 😀 ). Okelah, yang penting sekarang sudah nulis kan ya 😀

Masih dengan terkait impian dan mewujudkannya, beberapa hari setelah tahun baru, saya agak tergelitik dengan salah satu postingan kawan baik saya, sekaligus travel mate saya saat di Eropa dulu Ria Dhea. Dhea merespon salah satu postingan dari tirtoid terkait masalah kepo yang menjalar seperti lemari partikel yang terkena lembab berbulan-bulan, finally “jamuren” di kehidupan sosial kita. Fenomena ini bahkan sudah sangat biasa sekali di lingkungan kita. Lingkungan yang terkadang cenderung suka membandingkan self-achievement dengan standar orang lain dalam mencapai impiannya. Why do not you do that? Why do not you do this?  Alih-alih orang yang tidak begitu mengenal kita yang menyampaikan. Rasanya tinggal masuk telinga kanan keluar telinga kiri saja, tinggal menguatkan mental saja 😀 Kadang beberapa lidah ada yang ganas, jadi tinggal siap-siap menjadi baja agar waktu dan kerja lebih produktif dengan tetap menggemakan vibra positif dalam diri. Tiap orang mempunyai zona pribadi, selama itu tidak membawa kerusakan bagi lingkungan, seharusnya tak perlu hebring banget pengen tahu ini itu. Siapa kita?

Postingan @riadhea di Facebook pada 4 Januari 2018

Sebenarnya pun juga tidak sepenuhnya salah sih, Continue reading

Jadi Dosen? Mau?

“Assalamu’alaikum mba Yui. Ur writing by the title “berkarya meski tak berNIDN is great. help and guide me for being a lecturer donk mba hehe… I do wanna be a lecturer. I really need ur tips & tricks for being it. Mengingat sdh cukup banyak peraturan mengenai dosen dewasa ini :)”

Salah satu inbox di Instagram hari ini, hari Maulid Nabi, hari yang mengawali sebuah bulan paling terakhir di tahun 2017 ini. Sebenarnya bukan pertama kalinya pertanyaan sejenis di atas ditanyakan ke saya. Agar lebih efektif, maka saya membuat artikel ini, agar bisa diambil manfaatnya secara meluas (kalau ada).

Belum banyak pengalaman, karier saya sebagai dosen masih dibilang baru seumur jagung. Jadi tidak ada maksud untuk menggurui siapapun dalam artikel ini, saya hanya akan mengungkapkan pengalaman yang saya rasakan berikut point of view dari saya pribadi. Begitu ya 🙂 Setiap masukan is very welcoming. Poin-poin berikut akan menjawab atau menjelaskan sedikit banyak pertanyaan di atas, atau pertanyaan sejenis yang pernah hinggap di inbox saya. Oke kita mulai ya 🙂

1.Minimal S2.

Ini syarat minimal yang harus dipenuhi dosen jaman now, memiliki kualifikasi pendidikan minimal S2, tidak bisa tidak. Atau masih ada kampus yang menerima tawaran dosen dengan kualifikasi S1 selain vokasi atau diploma? Jadi kalau belum mengantongi ijazah S2 sebaiknya diperjuangkan. Lebih baik S2 dalam negeri atau luar negeri? Sama saja, masalah preferensi saja. Keduanya ada plus minusnya. Di manapun berada yang penting adalah ilmu yang kita dapatkan bisa bermanfaat dan berkah, sehingga baik kita yang menuntut ilmu maupun lingkungan di sekitar kita bisa merasakan manfaatnya. Bukankah demikian? 😉

Continue reading

Jogja dalam Sehari

Di tengah padatnya kegiatan-kegiatan bulan Nopember ini, ada hal menyenangkan yang terjadi mendadak. Yep, tepatnya minggu kemarin short trip ke Jogja <3. Yay! finally, padahal beberapa hari sebelum itu saya dan suami sempet ngobrol untuk merencanakan liburan singkat dan di Jogja, alhasil Tuhan mendengar dan menghijabah hasil obrolan kami dengan melayangkan undangan pernikahan dari salah satu teman baik suami saat kuliah di Swedia dulu. Ya, dadakan. Singkat sekali proses perjalanannya, dapat undangan hari Kamis, pesan tiket kereta dan pesan hotel hari Jum’at, Sabtu berangkat. Pengen banget berangkat Sabtu pagi hari, namun tidak bisa, karena saya masih ada acara dan siang juga sudah berjanji kepada adik-adik FORMASI UB untuk sharing pengalaman. Akhirnya diputuskan berangkat sore. Agak lumayan hectic persiapannya karena Jumat malam sebelum berangkat itu masih berkutat dengan urusan administrasi konferensi internasional FILKOM dan juga sedikit borang akreditasi :3. Untung dibantuin suami, simply we can call it as team work 🙂 <3 Sabtu pagi itu ada acara dan baru packingnamun saat sampai ke Guest House UB pas lah. Alhamdulillah. Oke kita mulai cerita perjalanan ke Jogja yaaa, biasalah tadi pembukaan dulu 😀

Naik kereta api tut..tut..tut.. Udah lama sekali tidak naik kereta api, sebelum berangkat kita sempat beli oleh-oleh dulu untuk kawan kami di sana, dan juga beli makan siang yang antrinya euh euh. Sensasinya perjalanan kali ini sungguh menyenangkan dan sangat menikmati, apalagi sama suami #eh. 😀 Sepanjang jalan saya merasa bersyukur sekali masih diberi kesempatan untuk menikmati perjalanan, melihat keindahan lukisan Tuhan, menyenangkan pokoknya 😀 Alhamdulillh. Sampai di stasiun Jogja tengah malam dan berencana naik Grab menuju hotel yang kalau dari aplikasinya 2km. Untung suami lihat Google Maps, hotelnya ternyata berjarak 500 meter dari Stasiun, akhirnya kami jalan kaki saja lah, karena menurut parameter kami 500 meter itu sangat dekat. Sambil melihat dan menikmati suasana Jogja malam hari, melalui Jalan Malioboro yang masih sangat ramai, menyenangkan.

Si embek ikut jalan-jalan pagi di Malioboro

Pagi hari di hari Minggu, kami sudah membuat daftar kegiatan (fleksibel sih) untuk seharian, yang jelas hal utama kondangan dulu. Untuk seharian itu, kami dapat sambutan spesial oleh Alvi Syahrina, yang repot-repot menyediakan fasilitas untuk jalan-jalan. Thanks ya Pi :). Kondangan masih jam 11, sementara pagi hari kami  masih mempunyai waktu sedikit banyak untuk jalan-jalan ke Malioboro dan randomly kita kepikiran untuk main ke Taman Sari. Selepas sarapan pagi di hotel dengan hati senang memulai jalan kaki ke Malioboro, karena hotelnya deket banget kok sama Malioboro.  Ada warna yang berbeda dengan setahun yang lalu, area pedestrian di sepanjang Malioboro jadi lebih lebar dan ada tempat untuk duduk-duduknya. Namun, tetap saja yang namanya Malioboro tak pernah sepi pengunjung. Saat jalan-jalan tersebut ada hal yang lucu, karena ada kambing jalan-jalan di pedestrian mengikuti pemiliknya. 😀 Anti mainstream banget ya, biasanya anjing atau kucing, ini mah kambing di tengah keramaian pedestrian Malioboro 😀 Sampai sekitar 700 meter kami berjalan, kemudian kami memutuskan untuk ke Taman Sari naik becak, yang sekarang sudah banyak becak motor di Jogja. Setahun yang lalu masih belum nemu becak motor, sekarang di sepanjang Malioboro sudah banyak sekali becak motor. Dengan bahasa Jawa kromo mencoba untuk menawar harga tapi yasudahlah, Rp 25.000,- ke Taman Sari, it’s ok.

1.Taman Sari

Sampai ke Taman Sari jam 9 kurang masih tutup dan sudah banyak pengunjung yang berjajar-jajar mengantri di depan gerbang taman Sari. Sambil melihat-lihat dan foto-foto sekitar, tak lama kemudian gerbang dibuka, dan semua pengunjung yang telah menunggu berhamburan membentuk barisan di depan loket. Tak lama antri, saya membeli dua buah tiket dan satu tiket kamera. Harga per tiketnya adalah Rp. 5000,- dan harga untuk membawa satu kamera adalah Rp 3000,-. Murah banget lah pokoknya. Berhubung masih pagi, cuaca juga masih nyaman dan seger, juga pengunjung tidak terlalu berjejejalan. Suasananya masih enak. Kemudian dari arah mau masuk ke area pemandian Taman Sari ada bapak-bapak yang sudah sepuh menanyakan apakah membutuhkan guide? Awalnya saya bilang “mboten”  yang artinya tidak. Sekitar 7 langkah setelah bilang tidak ke bapak guide tersebut, saya diskusi sama suami. Yang intinya, kalau cuma foto-foto saja kayaknya kurang deh, kita butuh informasi sejarah yang ada di dalamnya. Kalau cuma untuk foto-foto memang Taman Sari ya gitu-gitu aja, bagus sih, tapi ya gitu-gitu aja. Akhirnya saya balik badan menghampiri bapaknya lagi. Enak loh, guide yang ada di sana itu gak maksa, gak seperti mbak2 SPG yang kadang agresif banget kalau nawarin barang :D. Masalah preferensi sih, kalau saya suka model seperti itu, gitu aja :D. Saya tanya ke bapak guide “Pak, ngapunten, berapa ya harganya untuk jasa guide?” Seikhlasnya mbak. Sama seperti di Keraton dulu juga guidenya tidak mematok suatu harga namun seikhlasnya.

Area utama Taman Sari

Bapak guidenya ini baik banget, Continue reading

Cerita dibalik Buku “Everyone Can Get Scholarship”

Alhamdulillah beberapa waktu lalu, buku perdana yang berkolaborasi dengan 14 penulis lain yang tidak semua saya kenal, berjudul “Everyone Can Get Scholarship” telah terbit. Saya sebenarnya baru tahu tanggal 9 Nopember buku tersebut terbit, setelah dapat tagging dari salah satu admin sahabat beasiswa cabang Surabaya di Instagram. Ternyata buku tersebut sudah terbit sejak peringatan hari sumpah pemuda 28 Oktober 2017. Alhamdulillah, cukup senang pada akhirnya terbit juga setelah sekian lama hilang kabarnya 😀 Saya juga tidak menyangka  bahwa salah satu author di buku tersebut ada mbak Dewi Nur Aisyah, yang namanya sudah cukup melegenda karena buku best seller beliau yang berjudul “Awe Inspring Me” dan “Shalihah Mom’s Diary”. Ya cuma, mbak Dewi saja yang saya ketahui, karena beliau juga ternyata adalah istri dari temannya suami saat seangkatan LPDP dulu. Dunia itu sempit, muter-muter saja 😀 Ya, walaupun juga belum pernah ketemu sama mbak Dewi juga sih 😀

Jadi begini ceritanya. Waktu itu ada semacam sayembara untuk menulis pengalaman dan perjuangan mendapatkan beasiswa dari Sahabat Beasiswa yang kerja sama dengan PPI Dunia. Saat itu bulan Maret kalau gak April 2015 pengumuman adanya sayembara tersebut. Posisi saya saat itu masih di Warsawa. Saat itu memang hadiahnya tulisan terpilih akan dijadikan sebuah buku. Random saat itu nyoba nulis saja, karena memang suka ngisi blog juga. Jadi ga ada harapan menang atau apapun, ngalir saja. Ya suka nulis saja, meskipun bahasa saya belum seperti penulis-penulis best seller (kejauhan deh bandinginnya :D), tapi memang menulis adalah hobi saya. Kadang Continue reading

Dua Jam Jalan-Jalan di Kampung Tridi, Jodipan, Malang

Kampung Tridi (atas), Cinque Terre (bawah)

Alhamdulillah, akhirnya ada waktu juga mampir di Kampung Tridi di daerah Jodipan, Malang. As you know, saya sama suami sebenarnya tinggal tak jauh dari kampung Jodipan ini, atau bisa dikatakan seminggu sekali lewat situ. Beberapa teman yang berkunjung ke Malang sudah mampir, tapi ini yang dekat tempat tinggal malah belum pernah kesitu. Yep, pada akhirnya saya bisa memberi pengumuman kalau I’ve been there 😀 #lebay. Kampung warna-warni ini sudah menyedot perhatian banyak publik dan sering masuk media atau masuk jajaran foto favorit di Instagram kalau lagi liburan ke kota Malang. Dulunya daerah ini daerah yang padat pemukiman, cenderung tak terurus. Konon kabarnya atas dasar inisiatif mahasiswa UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) yang didukung oleh salah satu perusahaan cat ternama dan jadilah kampung yang sedap dipandang.  Saya juga akui top deh kebersihannya.

Ada yang bilang kampung tridi ini konsepnya mirip Cinque Terre di Italia. Kata suami yang sudah pernah ke Cinque Terre alamnya memang sudah bagus, lautnya juga indah. Sementara kampung tridi ini adalah warna yang baru dari kampung yang dikenal kurang terawat sebelumnya, sehingga sekarang pun jadi salah satu icon wisata di Kota Malang. Kampung tridi  ini dipadati banyak pengunjung, hampir di setiap sudut dari rumah-rumah  dilukis dan dihiasi dengan aneka ragam atribut yang instagramable. Tak ayal banyak sekali yang menghabiskan waktu untuk mengambil spot dan berfoto ria di sana, karena hampir setiap sudutnya memiliki keindahan tersendiri.

Ini tiket masuk kampung tridi, bayar 2500 dapat gantungan kunci dan stiker

Baru-baru ini dibangun jembatan penghubung antara kampung yang satu dengan kampung yang di sebelahnya. Jadi sebenarnya ada dua kampung yang berbeda yang dipisahkan oleh sungai. Jembatan tersebut jembatan kaca, jadi kita bisa langsung melihat air sungai dari tempat kita menyeberang jembatan tesebut. Kapasitas jembatan tersebut adalah 50 orang. Saking padatnya tidak bisa mengambil full  gambar sepanjang jembatan.

Nah, ada yang unik juga dari kampung tridi ini, karena terdiri dari dua kampung yang berbeda, harga tiket masuk pun berbeda. Harga tiket masuk  per orang adalah Rp 2.500,- untuk kampung satunya dan Rp 2000,- untuk kampung yang sebelahnya (duh lupa tidak tanya nama kampungnya) :D, so far tidak mahal untuk kenyamanan mata yang ada di dalamnya. Harga tersebut digunakan warga kampung untuk memelihara warna cat, perawatan, inovasi gambar, kebersihan, dan lain-lain (info yang ada di karcis seperti itu). Menariknya lagi karcis masuknya bukan karcis biasa. Di kampung satunya karcisnya adalah stiker, dan kampung satunya adalah gantungan kunci. Konsepnya sudah lumayan keren sih. Ya, daripada karcis atau gelang terus dibuang sayang mending gantungan kunci. 😀 #eh *no offense ya guys. 😀

Mungkin kedepannya bisa dibuat tiket terusan saja, sehingga tidak membingungkan pengunjung. Karena setiap masuk kampung baru langsung ditagih tiket lagi. Perasaan sudah bayar ternyata beda kampung. Banyak pengunjung yang ogah bayar lagi jadi puter balik jalan-jalan cuma di kampung sebelah saja. 😀

  

Oke guys, segitu aja postingan kali ini,barangkali bisa jadi salah satu informasi yang berguna bagi yang berkunjung ke Kota Malang yang semakin macet ini. 😀 Semoga nyaman ya di Malang 🙂

 

See you!

 

@kontrakan <3